Ketika para penggiat anti tembakau masih sibuk mengampanyekan bahaya tembakau dan menekan pemerintah untuk membuat regulasi pengontrolan yang ketat, sesungguhnya korporasi internasional yang mendapat keuntungan bisnis. Dari agenda ini, justru mereka sibuk menghitung peluang keuntungan dari bisnis tersebut. Hal inilah yang coba dikritisi oleh Wanda Hamilton dalam bukunya yang berjudul “Nicotine War, Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat”.
Wanda dalam buku tersebut bercerita mengenai fakta-fakta di balik agenda global pengontrolan atas tembakau, bahwa terdapat kepentingan besar bisnis perdagangan obat-obatan yang dikenal dengan Nicotine Replacement Theraphy (NRT). Di sana, sangat kuat kesan dan indikasi bahwa kepentingan kesehatan publik melalui kampanye bahaya tembakau hanyalah bungkus dari motif kepentingan bisnis perdagangan produk NRT.
“Pada tahun 1980-an, badan-badan kesehatan masyarakat sudah bersiaga penuh untuk melancarkan serangan terhadap perilaku merokok sebagai isu kesehatan publik. Perusahaan farmasi justru melihat ini sebagai peluang emas untuk menawarkan produk-produk nikotin mereka sendiri sebagai alat bantu berhenti merokok dan jelas tak ada yang lebih menguntungkan dibandingkan kenyataan bahwa lembaga kesehatan dunia ikut membantu memasarkan obat-obatan berhenti merokok sebagai bagian dari program pemberantasan merokok,” ujar Hamilton dalam diskusi dan bedah bukunya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Sabtu (12/6).
Sementara itu, dalam pandangan pakar ekonomi UGM, Drs. Revrisond Baswir, M.B.A., saat ini bangsa Indonesia sebenarnya tengah dijajah bukan pada sektor riil, tetapi pada mindset atau cara pandang seseorang dalam melihat persoalan. Dalam kaitannya dengan merokok dan kesehatan, riset mengenai kampanye anti merokok saat ini bukan lagi berdasarkan pikiran ilmiah, tetapi untuk kepentingan kelompok korporasi yang ingin merebut emas.
“Perebutan emas nikotin adalah mengenai bagaimana cara manusia mengonsumsinya. Perusahaan farmasi mengamati bagaimana cara manusia menikmati rokok. Kemudian, mereka sembari mempersiapkan produk pengganti dan merebut pasar dari masyarakat yang mengkonsumsi rokok tersebut,” katanya.
Dalam pandangannya, masalah pro merokok atau tidak merokok kini menjadi tidak relevan lagi manakala terdapat korporasi kepentingan. “Mau merokok atau tidak sebenarnya sama-sama memiliki kepentingan korporasi, tetapi yang harus menjadi perhatian kita adalah bagaimana kepentingan itu didasarkan untuk rakyat banyak dan menyangkut kebijakan secara nasional termasuk kebijakan ekonomi negara,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)