YOGYAKARTA (KU) Siang itu, udara dan cuaca di kawasan UGM terasa sedikit gerah. Kemungkinan ini terjadi karena cuaca bulan Juni yang masih tidak menentu. Terkadang panas, terkadang hujan. Sempat terbersit dalam pikiran untuk mencari minum di Food Court sekitar Gelanggang Mahasiswa. Namun, pikiran tersebut hilang saat tanpa sengaja aku melintas di depan Fakultas Ilmu Budaya. Ya… ‘Bonbin’, demikian pikiranku langsung melayang. Tanpa berpikir panjang, kuparkir motor dan langsung menuju ‘Bonbin’, sebutan gaul kantin yang terletak di sisi timur Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Di sana, sudah tersedia berbagai macam menu makanan dan minuman. Mulai dari bakso, mi ayam, nasi rames, siomay, dan batagor, es teh, es jeruk, aneka jus hingga koran serta majalah tersedia di sana. Itulah tempat yang dulu lebih dikenal dengan istilah ‘Bonbin’, atau sekarang kita kenal dengan Kantin Rekadaya Boga Plaza Humaniora Mandiri. Istilah ‘Bonbin’ waktu itu, menurut informasi, karena dengan melihat orang-orang yang duduk dan makan di sana terlihat layaknya binatang-binatang yang terkurung dalam sangkar yang kotor, kumuh, dan terkesan bebas.
Banyak perbedaan yang dijumpai antara ‘Bonbin’ yang dulu dengan wujudnya sekarang. Saat ini, bangunan di sana lebih kuat, rapi, tertata, dan bersih. Berbeda dengan saat penulis masih kuliah di Jurusan Sastra Indonesia tahun 1998 hingga 2004, kesan kumuh dan kotor ‘Bonbin’ masih sangat kental. Meski demikian, aktivitas mahasiswa, dosen, dan karyawan masih sama, yakni berbaur menjadi satu komunitas tanpa melihat batas usia, budaya, etnis, status, hingga jurusan atau program studi. “Lebih rapi dan tertata, mas, dibanding ‘Bonbin’ yang dulu,” ujar Widodo, penjual batagor ketika mengawali perbincangan.
Widodo yang sudah bergabung dalam komunitas ‘Bonbin’ sejak tahun 1999 mengatakan merasa lebih nyaman dengan penataan yang dilakukan. Saat ini ‘Bonbin’ berisi sekitar 12 pedagang. Senangnya, ia mengaku keuntungannya berjualan siomay dan batagor naik sekitar 30% dengan konsep penataan yang sekarang ini. “Kalau soal keuntungan sih, kita akui naik mas. Dulu, tiap hari kita dapat sekitar 2,4 juta rupiah. Saat ini bisa naik menjadi 5 jutaan rupiah,” katanya.
Ehm, ternyata konsep penataan ‘Bonbin’ menjadi Kantin Plaza Humaniora Mandiri banyak mendatangkan manfaat bagi para penjual di sana. Namun, apakah ini memang hanya menguntungkan bagi para penjual saja?
Sambil masih menikmati jus alpukat, kusapa Feni, mahasiswi Jurusan Sejarah angkatan 2007. Dalam perbincangan tersebut, Feni juga merasa cukup puas dengan konsep dan pelayanan di Kantin Plaza Humaniora, menunya lengkap, dengan harga terjangkau bagi kantong mahasiswa, baik yang bermobil ataupun yang hanya naik bus dan berjalan kaki. “Harganya standar kok. Menunya juga lumayan lengkap,” ujar Feni.
Hanya saja, Feni merasa beberapa fasilitas di sana masih butuh perawatan dan perbaikan. Ia mencontohkan atap bangunan plaza yang beberapa bagiannya bocor dan lebih panas. “Dengan policarbonat seperti saat ini rasanya justru lebih panas, mending memang diganti genting saja, mas,” katanya.
Hampir senada dengan Feni, Rafe mahasiswa FIB lainnya, juga sepakat jika Plaza Humaniora ke depan terus diperbaiki, terutama terkait dengan persoalan fasilitas tadi. Ia setuju jika ada penataan sehingga mereka lebih nyaman lagi ketika beristirahat ataupun berdiskusi di tempat itu. “Meski sepele, ini menyangkut kenyamanan, mas. Kalau bagus, mahasiswa akan betah makan, minum, dan sambil diskusi di sini,” ucap Rafe.
Kulihat memang beberapa bagian atap di sana sedikit terbuka sehingga rembesan air hujan bisa masuk. Akibat panas yang menyengat dan masuk policarbonat, para penjual dan pengelola Plaza Humaniora menyiasatinya dengan memasang spanduk bekas di bawahnya.
Tidak saja panas dan bocor, ketika penulis bermaksud ke kamar mandi, ternyata pintu kamar mandi di sisi barat jebol atau rusak. Otomatis, kamar mandi tidak dapat difungsikan. Sayangnya lagi, di depan pintu masuk kamar mandi ditumpuk beberapa barang bekas/rongsok yang informasinya milik pemulung. “Pemulung biasa mampir ke sini meski sudah diperingatkan kita dan satpam. Mereka sering tidur di malam hari dan menitipkan barang juga sehingga kelihatan kotor,” ujar Heru Waluyo, koordinator pedagang Kantin Plaza Humaniora. Beberapa persoalan tadi, mulai atap yang panas, bocor, tampias air hujan, hingga pintu kamar mandi yang rusak, menurut Heru, perlu mendapat perhatian dari universitas agar suasana kembali nyaman.
Terlepas dari beberapa kekurangan terkait dengan fasilitas tersebut, keberadaan ‘Bonbin’ Plaza Humaniora yang terletak di sebelah timur Fakultas Ilmu Budaya ini patut dikunjungi sebagai salah satu lokasi untuk media komunikasi sosial. Komunikasi dan interaksi sosial masyarakat kampus yang berasal dari berbagai kultur terjalin tanpa melihat bermacam status dalam bayang-bayang romantisme masa lalu ‘Bonbin’. Sayang jika Anda belum sempat meluangkan waktu untuk sekadar beristirahat dan mencicipi menu “Bonbin” Plaza Humaniora Mandiri. Jadi, tunggu apa lagi? (Humas UGM/Satria)