Percepatan industri telah menghasilkan berbagai dampak lingkungan. Salah satu isu yang banyak diperbincangkan adalah perubahan iklim akibat pemanasan global dari emisi karbon. Menanggapi isu tersebut, Departemen Geografi Pembangunan UGM mengangkat topik tersebut dalam serial diskusi Suistanable Development Goals (SDGs) Seminar Series #89 bertajuk “Climate Change 101 for SDGs”. Diskusi ini berlangsung secara daring pada Rabu (31/5).
Sejak tahun 2016, Indonesia telah menandatangani Perjanjian Paris yang mengharuskan negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi karbon sebesar 43% pada tahun 2030.
“Perubahan iklim ini merupakan tanggung jawab seluruh negara-negara di dunia, karena kita tahu perubahan iklim akan membawa dampak ke semua aspek kehidupan kita. Mulai dari pangan, kesehatan, energi, hingga kesejahteraan umat manusia,” ucap Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc selaku Dekan Fakultas Geografi UGM. Perubahan iklim menjadi salah satu isu bersama dalam pembangunan berkelanjutan, termasuk Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Menurut Kepala Laboratorium Kewilayahan, Dr. Luthfi Muta’ali., S.Si., M.T., isu perubahan iklim perlu diperbincangkan tidak hanya di tingkat nasional. “Kalau kita berbicara tentang perubahan iklim, apakah indikator tersebut hanya ditemukan di level nasional, atau bisa diperluas ke daerah-daerah. Pertanyaannya, apakah diskusi-diskusi politik mereka juga membawa topik perubahan iklim?,” tutur Dr. Luthfi.
“Masih banyak pemikiran mengatakan bahwa perubahan iklim ini adalah urusan pusat. Padahal, kalau daerah-daerah bisa turut membantu memperbincangkan isu ini, saya kira dampaknya akan luar biasa,” ungkap Dr. Luthfi.
Ia menjabarkan bagaimana potensi isu perubahan iklim bisa lebih digulirkan pada tingkat daerah melalui berbagai kebijakan baru jelang pemilu 2024. Hal pertama yang paling penting diketahui oleh pemangku kebijakan di tingkat daerah adalah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Sayangnya, hampir seluruh daerah belum mampu menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sesuai target yang seharusnya.
Sejalan dengan Dr. Luthfi, Pakar Iklim dan Bencana Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si juga menerangkan terkait pentingnya mitigasi dibanding adaptasi dalam persoalan perubahan iklim.
“Mitigasi yang bisa kita lakukan secara terukur itu bisa dilihat dari sumbernya. Ada enam sumber utama, yaitu pembangkit listrik, industri, bangunan, transportasi, penggunaan lahan, dan non CO2. Salah satu yang paling penting adalah pembangkit listrik, karena dipakai oleh seluruh kalangan masyarakat setiap harinya,” kata Emilya.
Terdapat dua hal langkah utama yang bisa dilakukan untuk menurunkan emisi karbon. Pertama, pemberhentian penggunaan bahan bakar batu bara dalam pembangkit listrik. Kedua, pemanfaatan energi baru terbarukan sebagai pengganti bahan bakar fosil. Kedua hal ini tentunya tidak mudah dilakukan mengingat Indonesia telah lama bergantung pada batu bara sebagai tenaga pembangkit listrik.
Emisi karbon di Asia tenggara diperkirakan mencapai 5,3 giga ton pada tahun 2050 jika tidak segera ditangani. Angka ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Melalui diskusi ini, isu perubahan iklim diharapkan tidak hanya dikelola oleh pusat, namun juga mampu dibawa ke dalam berbagai lapisan kebijakan. Dengan begitu, mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan kolaborasi berbagai pihak secara terintegrasi.
Penulis: Tasya