Oleh Dr. Bagus Riyono, M.A., Psikolog.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan apa yang disebut sebagai Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948, setelah usai Perang Dunia ke-II. DUHAM 1948 adalah respons dunia terhadap Perang Dunia ke-II yang telah menghinakan kemanusiaan di seluruh dunia. Semangat dari DUHAM 1948 adalah untuk mengembalikan kemuliaan manusia melalui pemenuhan hak-hak asasi mereka. Semangat ini tercermin pada artikel 1 dari DUHAM 1948, yang berbunyi:
“All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, 1948).
Jika kita cermati, artikel pertama dari DUHAM 1948 pada kalimat pertama mengandung tiga konsep yang menjadi pokok pikiran. Konsep itu yang pertama adalah “freedom”, yang kedua adalah “dignity”, dan yang ketiga adalah “rights”. Kalimat pertama tersebut berbunyi, “All human beings are born free and equal in dignity and rights.” Pada kalimat ini, ”freedom” dinyatakan sebagai sesuatu yang merupakan bawaan lahir dari manusia. “Dignity” dan “rights” adalah posisi atau kondisi yang pada awalnya itu setara untuk semua manusia.
Karena freedom itu merupakan bawaan lahir, maka semua manusia pada dasarnya sudah terlahir dengan kapasitasnya untuk bisa bertindak bebas, namun hal ini bukanlah suatu nilai tertinggi dari kemanusiaan. Sementara itu, “dignity” dan “rights”adalah suatu status kemanusiaan yang dinyatakan sebagai sesuatu yang seharusnya ”equal” atau setara. Artinya, “dignity” dan “rights” adalah sesuatu yang harus dijaga atau diperjuangkan agar tidak berbeda antar satu kelompok manusia dan satu kelompok manusia yang lain.
“Dignity” adalah kemuliaan, sedangkan “rights” adalah hak. Artinya, hak asasi manusia adalah kemuliaan yang harus selalu dijaga dan dipertahankan. Kebebasan manusia adalah suatu energi yang harus dikendalikan demi tercapainya kemuliaan manusia yang merupakan hak asasi bagi seluruh umat manusia.
Pada kalimat berikutnya, dari artikel 1 DUHAM 1948, tertulis “They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.” Kalimat kedua ini menjelaskan lebih jauh bagaimana supaya manusia mengarahkan kebebasannya untuk menjunjung tinggi kemuliaan yang merupakan hak asasi manusia. Disebutkan bahwa manusia dikaruniai dengan “reason”, yaitu akal sehat, dan “conscience”, yaitu hati nurani, dan diperintahkan untuk memperlakukan sesama manusia dengan “spirit of brotherhood”, yang berarti semangat persaudaraan.
Kalimat tersebut menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi pengendali dari kebebasan manusia, yang bisa mengarahkannya kepada kemuliaan. Pertama, kebebasan manusia harus dibimbing oleh akal sehat yang merupakan kearifan universal yang didukung logika dan ilmu pengetahuan. Yang kedua, kebebasan manusia harus dibimbing oleh hati nurani, yang akan menjaganya pada jalan yang benar sesuai dengan moralitas universal. Sekali lagi ini demi menjaga kemuliaan manusia. Yang ketiga, kebebasan manusia juga harus dijiwai oleh semangat persaudaraan sehingga kebebasan tidak berorientasi kepada kepentingan diri sendiri saja.
Hal ini menunjukkan bahwa kemuliaan manusia hanya akan tercapai ketika sesama manusia saling menghargai satu sama lain dan saling menyayangi satu sama lain dalam sebuah semangat persaudaraan universal.
Pemahaman tentang HAM dewasa ini sering salah fokus pada “freedom” atau kebebasan manusia yang seolah-olah menjadi inti dari HAM tersebut. Secara logika, jika inti dari HAM adalah kebebasan, maka akan terjadi “contradictio in terminis” dengan artikel pertama dari DUHAM. Ketika setiap individu memperjuangkan kebebasannya, maka hal itu akan bertentangan dengan semangat persaudaraan.
Adalah sesuatu yang tidak masuk akal ketika kita memperlakukan satu sama lain dengan semangat persaudaraan demi kebebasan masing-masing. Yang lebih parah dari kesalahpahaman tentang HAM ini adalah kenyataan bahwa mereka yang meneriakkan kebebasan sebagai esensi dari HAM seringkali tidak sejalan dengan akal sehat dan bertentangan dengan hati nurani. Sebagai contoh adalah gerakan LGBT yang jelas-jelas tidak masuk akal karena ilmu pengetahuan membuktikan bahwa perilaku tersebut menyimpang dan menyebabkan berbagai macam penyakit sebagai akibatnya. Selain itu, perilaku tersebut juga bertentangan dengan hati nurani yang merupakan sesuatu yang menghubungkan kemanusiaan dengan nilai-nilai Ketuhanan.
Yang lebih masuk akal adalah bahwa kita perlu menggunakan akal sehat dan hati nurani serta memperlakukan sesama dengan semangat persaudaraan demi meraih kemuliaan bersama.
____________________
dikutip dari buku “Membangkitkan Kemuliaan Manusia” (2023)