JOGJA (KU) – Jumingan, 46 tahun, tetap semangat mengayun gancu ke tumpukan sampah yang masih basah karena tersiram hujan semalam. Oleh Jumingan, sampah dedaunan yang bercampur bekas bahan-bahan peralatan laboratorium itu dimasukkan ke dalam keranjang untuk diangkut ke truk.
Jumingan tidak sendiri. Bersama tiga orang temannya, Marsihono, Murdyanto, dan Sumardiyono, tiap pagi mereka bertugas mengambil sampah-sampah dari bak penampung, mulai dari Fakultas Biologi, Farmasi, Kedokteran, Kedokteran Gigi, dan sekitar perumahan Sekip.
Perlu waktu satu jam bagi Jumingan untuk memindahkan 4-6 kubik sampah hanya dari satu bak penampung. Padahal, ada beberapa bak yang harus mereka angkut sampahnya dalam satu hari. “Biasanya satu jam menguras sampah di bak. Kalau orangnya sehat semua nggak masalah. Kadang ada yang sakit, ya lebih lama,” kata pria kelahiran Sleman, 4 Desember 1964 ini.
Pekerjaan Jumingan rampung sekitar pukul 11.00. Selanjutnya, sampah sebanyak satu truk itu pun dibawa ke TPA Piyungan. Jumingan baru dapat menikmati makan siang di atas pukul satu. Untuk urusan makan siang, ia tidak harus mengeluarkan uang dari kantong pribadinya. Bersama keempat rekannya termasuk sopir, mereka mendapatkan uang tambahan dari hasil penjualan sampah rongsokan yang biasa disetor ke pengepul. “Tiap minggu, kita dapat rata-rata Rp60.000,00. Meski kecil, tapi tidak memberatkan kantong masing-masing kalau mau makan di jalan,” katanya.
Menjadi kru truk sampah tidak membuat Jumingan minder, apalagi pekerjaan itu sudah dilakoninya kurang lebih 25 tahun. Jumingan masih ingat, saat pertama kali masuk UGM pada tahun 1983, ia hanya digaji Rp500,00 hingga Rp12.500,00. “Karena kalau dulu nggak masuk kerja akan dipotong gajinya,” ujar pria yang baru diangkat PNS pada 2008 ini.
Karena sudah terbiasa bergelut dengan sampah, kotoran dan bau yang menempel di baju sudah tidak asing lagi baginya. Ia tidak pernah protes. Baginya, hal itu merupakan risiko dari pekerjaannya. “Bau pesing, kotoran sampah nempel di baju, sudah biasa,” kata petugas Satuan Kebersihan dan Pertamanan (SKP) ini. Istrinya pun tidak pernah mengeluh jika Jumingan membawa pakaian kotor pulang. Namun, Jumingan tidak ingin memberatkan pekerjaan sang istri. Ia tak segan-segan mencuci sendiri baju kerjanya. “Baju saya ini kotornya sama dengan baju cucian satu ember di rumah, lebih baik saya cuci sendiri daripada memberatkan istri,” kata bapak tiga anak ini.
Tidak ada kesedihan yang tampak di wajah Jumingan meski dirinya hanya sebagai kru pengangkut sampah. Ia terlihat sumringah begitu tahu akan diambil fotonya. Tanpa diarahkan, Jumingan langsung berpose, tentu dengan gaya mengayun gancu ke arah tumpukan sampah.
Perasaan senang Jumingan barangkali muncul karena sangat jarang orang mau memotret kehidupan para pekerja seperti dirinya yang sudah 25 tahun mengais sampah di bak-bak penampungan. Ia tidak pernah mengeluh meski cuaca hujan atau panas, pekerjaan mengangkut sampah harus dilakukannya. Kalau tidak, sampah akan menumpuk dan membusuk. Jika itu terjadi, bisa-bisa ia dan teman-temannya akan di-complain dosen-dosen yang tinggal di perumahan Sekip. (Humas UGM/Gusti Grehenson)