Bioteknologi modern di bidang pertanian sudah banyak dilakukan. Sebagai teknologi baru yang menggunakan teknik-teknik biologi molekuler dan rekayasa genetika, ia mampu untuk mengelola kesehatan tanaman, mengoptimalkan hasil produksi, dan mengurangi penggunaan pestisida.
Khusus untuk bioteknologi perlindungan tanaman (Biotek Perlintan), saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dan banyak memberikan manfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produksi. Biotek Perlintan terdiri atas tiga aspek pokok, yakni diagnosis atau identifikasi organisme pengganggu tanaman (OPT), interaksi OPT dengan tanaman inang dan lingkungan, serta pengendalian OPT.
Melalui teknik-teknik biologi molekuler, OPT dapat diidentifikasi dan dideteksi secara lebih akurat untuk kepentingan diagnosis yang tepat dan cepat. “Teknik-teknik biologi molekuler ini sangat membantu dalam memahami perkembangan infeksi suatu penyakit dalam tanaman inangnya maupun pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian, keparahan serangan dan penyebaran suatu OPT,” papar Prof. Dr. Ir. Siti Subandiyah di Balai Senat, Rabu (23/6), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM.
Dalam pidato berjudul “Pendekatan Bioteknologi dalam Pengendalian Penyakit-penyakit pada Jeruk dan Pisang”, Siti Subandiyah mengatakan pada aras pengendalian manipulasi genetika terhadap tanaman inang mampu menghasilkan tanaman tahan OPT. Selain itu, dihasilkan pula manipulasi genetika terhadap musuh alami, jasad antagonis, dan struktur komunitas biologis sehingga menghasilkan lingkungan biotik dan abiotik yang mampu menekan perkembangan OPT dengan lebih efektif. “Kendala paling signifikan terhadap produksi buah-buahan di lapangan adalah masalah OPT. Permasalahan OPT ini menyebabkan menurunnya jumlah produksi secara kualitas dan kuantitas,” tutur istri Achmad Himawan, M.Si. dan ibu Luthfi Hascarya Nur, S.P. ini.
Menurut Siti Subandiyah, berbagai penyakit tanaman yang semula tidak diketahui identitas patogennya karena tidak dapat diisolasi pada medium buatan menjadi terungkap dengan menggunakan teknik identifikasi molekuler. Perunutan basa DNA sekuen-sekuen baku (conserve), seperti ribosom 16S untuk jasad prokariot atau ribosom 18S untuk jasad eukariot, gena mikrosatetelit pada bakteri dan jamur, atau gena mantel protein pada kelompok virus, dapat digunakan untuk identifikasi jasad yang tidak bisa dikulturkan pada medium buatan.
Di bagian akhir pidatonya, dikatakan bahwa seleksi dan perakitan terhadap jenis/kultivar jeruk di Indonesia harus segera ditingkatkan, terlebih dengan semakin meluasnya penyakit HLB yang sulit dikendalikan. Jenis/kultivar jeruk yang pertumbuhannya cepat dengan kebugaran yang tinggi akan mampu berkompetisi dengan perkembangan Las yang relatif lambat di dalam jaringan inang.
“Kombinasi batang bawah dengan jeruk-jeruk mandarin/tangerine sebagai batang atas yang dilakukan secara in vitro di Faperta UGM menunjukkan ada batang bawah yang lebih menjanjikan untuk mengganti jenis batang bawah Rough Lemon (RL) dan Citrus Junos (CJ) yang selama ini selalu digunakan di Indonesia,” terangnya. (Humas UGM/ Agung)