YOGYAKARTA-Pengembangan obat tanaman herbal di Indonesia dinilai masih cukup terbuka. Namun, sampai saat ini belum ada jembatan yang memudahkan pengembangan obat herbal secara optimal antara dunia keilmuan (akademisi) dengan industri dan masyarakat. Padahal, sekarang ini, harmonisasi obat herbal di tingkat ASEAN mutlak dilakukan jika Indonesia tidak ingin ketinggalan bersaing dengan produk herbal luar negeri yang sudah bebas masuk ke negara ini.
“Di era pasar bebas ini maka harmonisasi tingkat ASEAN terhadap produk obat herbal mutlak diperlukan jika Indonesia tak ingin kalah bersaing dengan produk luar yang sudah bebas masuk,†kata Koordinator Program S-2 Sains & Teknologi, Fakultas Farmasi UGM, Dr.rer.nat. Triana Hertiani, M.Si., Apt., di sela-sela acara International Workshop Development of Phytochemicals into Commercial Pharmaceutical Products, yang digelar di Fakultas Farmasi, Senin (5/7).
Triana mengatakan workshop tersebut merupakan bentuk kerja sama dengan Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda, dalam program Advanced Course in Pharmaceutical Sciences (ACPS) yang ke-18. Kegiatan yang digelar pada 5-8 Juli ini menghadirkan pembicara kunci Prof. Dr. Oliver Kayser dari Groningen Research Institute of Pharmacy Netherland. Workshop diikuti oleh para dosen, baik dari UGM maupun luar UGM, peneliti, hingga kalangan industri obat.
Lebih lanjut ditambahkan Triana, selain persoalan harmonisasi, sampai saat ini pengembangan obat herbal juga terkendala untuk dapat cepat dikomersikan. Padahal, keberadaan obat tersebut telah dapat diterima masyarakat. Diakui Triana bahwa dari sisi standar dan kualitas produk, obat herbal Indonesia cukup bagus. Namun sayang, dengan adanya pasar bebas, khususnya di tingkat ASEAN, mengakibatkan dampak yang tidak sama antara industri besar dengan industri kecil. “Untuk bisa bersaing dengan produk luar, antara industri besar dan kecil tentu akan lain penyikapan dan imbasnya,†katanya.
Sementara itu, peneliti yang juga Wakil Dekan Bidang Akademik, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Subagus Wahyuono, M.Sc., Apt., menuturkan dua hal penting dari pengembangan obat herbal, yakni terkait dengan teknologi untuk memperbanyak senyawa aktif dan template (kerangka) dari senyawa aktif agar nantinya dapat diperoleh dalam jumlah besar. “Teknologi untuk bisa memperbanyak senyawa aktif dan template senyawa aktif itu yang sebenarnya cukup penting dikembangkan,†terang Subagus.
Subagus mencontohkan meskipun jumlah tanaman herbal di Indonesia melimpah, senyawa aktif yang dapat dihasilkan relatif sedikit. Misalnya, dari 1 kg bahan tanaman obat hanya diperoleh sekitar 1 mg senyawa aktif yang dapat dimanfaatkan dengan optimal. Oleh karena itu, pengembangan, terutama melalui bioteknologi, dapat dijadikan salah satu solusi. “Bioteknologi lagi-lagi belum maksimal dimanfaatkan. Ya, masalah dana lagi-lagi menjadi problem juga,†katanya.
Pengembangan tanaman obat herbal penting dilakukan melihat melimpahnya jumlah tanaman ini di tanah air. Sebuah penelitian bahkan menyebutkan 80% obat yang ada saat ini berasal dari bahan alam. “Sangat melimpah, seperti morfin, ada pula dari temulawak, jamu-jamuan, untuk daya tahan tubuh atau penambah stamina,†jelas Subagus. (Humas UGM/Satria)