Untuk mengembangkan pertanian menuju sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pasar dan ramah lingkungan, maka diperlukan upaya-upaya berupa Reformulasi Paradigma Pengembangan Pertanian dan Restrukturisasi (menata kembali) Kelembagaan Pertanian. Reformulasi Paradigma Pengembangan Pertanian merupakan proses yang bertujuan agar semua pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang pertanian memiliki kesatuan atau kesamaan dalam pola pikir dan cara pandang tentang pengembangan pertanian ke depan.
“Kemudian, kesamaan paradigma tersebut direalisasikan melalui strukturisasi atau penataan kembali kelembagaan pertanian di tingkat pusat dan daerah menjadi satu kesatuan sistem pertanian yang saling terkait dan saling mendukung,†ungkap Prof. Dr. Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, SU, Senin (14/4) di ruang Balai Senat UGM.
Menurutnya, belajar dari keberhasilan dan kegagalan pengembangan pertanian di masa lalu, maka diperlukan soliditas sistem pertanian dan program pembangunan pertanian untuk pembangunan pertanian ke depan. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformulasi pola pikir atau paradigma pengembangan pertanian yang berlandaskan pada falsafah bernegara, yaitu Persatuan dan Kesatuan.
“Pada intinya, sektor pertanian seharusnya diperlakukan sebagai satu kesatuan sistem yang utuh dan kokoh dengan sub-sistem yang tidak terpisahkan. Secara harafiah dapat diartikan bahwa pengembangan pertanian ke depan hendaknya tidak lagi bersifat parsial, karena pertanian merupakan satu kesatuan sistem yang meliputi sub-sistem hulu, on-farm dan hilir,†ucap Prof Dwidjono, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM.
Untuk itu, katanya, diperlukan penyusunan rancangan Kebijakan Ekonomi Nasional yang integratif untuk mendukung pengembangan pertanian di masa depan. Kebijakan di sub-sistem hulu, seperti pengembangan industri input pertanian dan bidang pertanahan hedaknya mendukung upaya pengembangan produksi pertanian domestik.
Kebijakan pembangunan pertanian sendiri, kata Prof. Dwidjono, hendaknya berorientasi pada peningkatan kuantitas dan kualitas produk yang dapat memenuhi kebutuhan agroindustri dan agroniaga, dengan memperhatikan upaya perbaikan lingkungan pendukung usaha pertanian. “Kebijakan pengembangan agro-industri dan agro-niaga hendaknya pula lebih dititik-beratkan pada upaya pemenuhan kebutuhan domestik dan sekaligus mampu mensubstitusi produk primer dan olahan dari impor,†tambah Kepala Laboratorium Pengkajian Kebijakan Pangan dan Pertanian, Faperta UGM ini.
Dalam pidato “Pengembangan Pertanian Menuju Sistem Pertanian Berkelanjutan Yang Berorientasi Pasar Dan Ramah Lingkunganâ€, Asisten Pengelola MMA UGM inipun mengatakan perlu dihindari adanya kebijakan yang bersifat “dis-incentive†bagi pengembangan sistem pertanian maupun petani sebagai pelaku usahatani. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ketersediaan beras nasional dengan impor ternyata berdampak pada penurunan kesejahteraan petani.
“Dari analisis empiris periode 1982-2003 dapat ditunjukkan bahwa peningkatan kontribusi impor beras pada pertumbuhan ketersediaan beras nasional dari 13% sebelum krisis menjadi 45% setelah krisis, ternyata siring dengan penurunan indeks kesejahteraan petani padi dari 13% menjadi 0,8%. Bagi kepentingan pemerintah impor beras memang menguntungkan karena secara nominal biaya impor beras relatif lebih rendah dari biaya pengadaan produksi domestik,†tukas pria kelahiran jakarta 12 Maret 1956 ini. (Humas UGM).