JOGJAKARTA (KU) – Muktamar Seabad Muhammadiyah telah usai dan ditutup secara resmi oleh Wapres Boediono, Kamis (8/7). Dalam muktamar yang berlangsung di Yogyakarta ini, Din Syamsudin kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2010-2015. Tak terkecuali warga Muhammadiyah, masyarakat pun menaruh harapan besar kepada Din Syamsudin untuk membawa Muhammadiyah menjadi lebih baik.
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Dr. Zuly Qodir, mengatakan tantangan yang dihadapi Muhammadiyah sangat kompleks dan berat. Oleh karena itu, para pimpinan Muhammadiyah harus memiliki daya tahan yang kuat atas godaan materialisme dan politik praktis.
Zuly Qodir menilai komposisi 13 pengurus pimpinan pusat yang terpilih masih didominasi wajah-wajah lama, seperti Din Syamsudin, Mohammad Muqodas, Malik Fadjar, Dahlan Rais, Haedar Nashir, Godwill Zubeir, dan Bambang Sudibyo. Wajah-wajah baru yang muncul, antara lain, Syafig Mugni, Abdul Mu’thi, Agung Danarto, Fatah Wibisono, dan Syukrianto. Namun, dari ketiga belas pimpinan pengurus ini, kata Qodir, hanya tiga orang yang sering merespon isu globalisasi dan neoliberalisme. “Orang yang sensitif globalisme dan neoliberalisme hanya Din, Malik Fadjar, dan Haedar Nashir. Lainnya tidak,” ujar Qodir dalam Diskusi “Muhammadiyah dan Pemihakan pada Wong Cilik” di PSPK UGM, Kamis sore (8/7).
Dari komposisi 13 pimpinan pengurus ini, Qodir pesimis para pengurus tersebut memiliki keberpihakan membela orang-orang kecil. Ia mencontohkan renstra Muhammadiyah yang dibuat untuk lima tahun lalu juga tidak membahas keberpihakan terhadap orang-orang kecil, bahkan renstra itu dibuat oleh konsultan World Bank. “Renstra Muhammadiyah dipandu dengan mendatangkan seorang fasilitator konsultan dari Bank Dunia untuk merumuskan program sampai tahun 2030. Memang mengerikan jika kemudian program yang disusun oleh pengurus lima tahun lalu dibawah Din Syamsudin menjadi pijakan untuk lima tahun mendatang sebab gejala ke arah pragmatisme ekonomi dan politik telah jelas terjadi selama tiga tahun terakhir dalam Muhammadiyah,” tambahnya.
Keberpihakan kepada masyarakat kecil dalam dunia pendidikan dan pelayanan kesehatan masih dipertanyakan Qodir. Menurutnya, pendidikan yang dikelola Muhammadiyah adalah pendidikan yang mahal, tetapi tidak memiliki karakteristik yang jelas dengan pendidikan lainnya. Bahkan, rumah sakit Muhammadiyah tidak ada bedanya dengan rumah sakit swasta lainnya, bahkan juga dengan rumah sakit negeri. “Pelayanan pada kaum miskin sedikit tersendat karena persoalan pendanaan dari Muhammadiyah. Muhammadiyah tampak menggantungkan pada negara untuk membantu pengentasan kaum miskin,” tutur anggota Majelis Pemberdayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)