Kebijakan swasembada gula merupakan kebijakan yang tidak dapat ditawar lagi untuk segera di terapkan di Indonesia. Pasalnya selama ini konsumsi gula masih tergantung pada impor karena konsumsi nasional belum mampu mencukupi kebutuhan domestik. Kebijakan swasembada gula dilakukan dengan memberikan harga gula domestik yang mampu merangsang produsen untuk menambah produksi gula.
“Penentuan harga yang merangsang produsen ini dilakukan dengan menerapkan kebijakan yang protektif yaitu mengenakan tarif pada gula impor. Kebijakan ini akan lebih akseleratif apabila digabung dengan kebijakan subsidi input dan penentuan harga provenue gula,†kata Drs. Agustinus Suyantoro, M.S., dalam ujian promosi terbuka dengan judul “Strategi Industri Gula Indonesia Menghadapi Liberalisasi Perdagangan Dunia†di FEB UGM, Senin (12/7).
Menurut Agustinus, hasil dari tarif impor bisa dimanfaatkan untuk pengembangan industri gula baik melalui subsidi input maupun revitalisasi pabrik-pabrik gula. Pemberian subsidi input akan memberikan tambahan keuntungan bagi produsen karena menurunnya biaya produksi. Sedangkan revitalisasi pabrik gula akan meningkatkan efisiensi di tingkat pabrik sehingga produksi gula kaan meningkat dengan naiknya rendemen.
Mengenai kebijakan protektif dan subidi input pada industri gula, dikatakan staf pengajar Fakultas Ekonomi UNS ini, dalam jangka panjang akan berpengaruh negative terhadap produktivitas dan daya saing. Dengan demikian kebijakan ini bukan sebagai kebijakan permanen dalam jangka panjang. “Kebijakan tersebut harus dibarengi dengan kebijakan yang berkaitan dengan produktivitas dan daya saing. Ini dapat dilakukan dengan pentahapan dalam penerapan kebijakan-kebijakan tersebut,†jelasnya.
Kebijakan proteksi dengan menambahkan beban tarif gula impor sebesar 30% mempengaruhi harga gula domestic, produksi, dan. Dalam jangka panjang kebijakan ini mengakibatkan naiknya harga gula 332,24% (Rp. 1.886,03), peningkatan produksi gula 32,25% (419,28 ribu ton) yang diikuti dengan penurunan konsumsi sebesar 0,59% (3,84 ribu ton). Dengam pengenaan tarif pada gula impor masyarakat akan mengalami kerugian yang tak tergantikan berupa naiknya naiknya dead weight loss sebesar 395,3956 milyar dalam jangka panjang. “Kerugian ini tidak tergantikan dan akan dianggung oleh masyarakat,†terangnya.
Lebih lanjut dipaparkan suami dari Florentikna Sri Sumarsih, S.E., ini industri gula Indonesia bukanlah bentuk usaha tunggal dimana produsen bahan baku (tebu) dan pemroses tebu menjadi gula berbeda. Kondisi ini berimplikas pada tujuan dan motif yang berbeda antara petani tebui dan pabrik gula sebagai lembaga pemroses tebu menjadi gula. Melihat kondisi ini diperlukan sebuah kebijakan yang komprehensif sehingga dapat diterjemahkan oleh pelaku ekonomi dalam indutri gula sebagai satu kesatuan. “Pabrik-pabrik gula yang selama ini hanya sebagai lembaga pemroses tebu menjadi gula seyogiyanya tutut diberdatakan sebagai produsen gula dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk ikut serta menanam tebu,†urainya. (Humas UGM/Ika)