YOGYAKARTA-Di era 1970 an, di seputar lembah UGM atau dekat dengan taman rusa, UGM memiliki sebuah stasiun meteorologi yang dikelola oleh Fakultas pertanian UGM. Dahulu stasiun tersebut menjadi tempat penelitian serta pembelajaran mahasiswa dari berbagai kampus di Yogyakarta mengingat peralatan yang dimiliki cukup lengkap dari mulai anemometer (alat ukur kecepatan angin), solarimeter ( alat ukur panjang penyinaran matahari), aktinograf (alat ukur intensitas penyinaran matahari) hingga ombograf dan panci evaporasi.
” Dulu stasiun agroklimatoloi atau meteorologi UGM ini merupakan stasiun iklim terlengkap disamping Bandara Adisucipto,” ujar pengelola stasiun Meteorologi Pertanian Ir.Rahmad Gunadi, M.Si, Selasa (13/7).
Rahmad menuturkan dari stasiun meteorologi ini UGM selalu rutin mengirimkan berbagai data mengenai iklim, cuaca, curah hujan, temperatur, serta kelembaban udara kepada pihak BMKG. Namun, sekitar tahun 1995 ketika stasiun dipindah di dekat masjid kampus UGM saat ini, maka perlahan fungsinya kian tereduksi.Apalagi setelah dipindah lagi di ujung timur lembah UGM.
” Lokasi yang pas koordinatnya sebenarnya memang di dekat taman rusa itu,” ujarnya.
Waktu masih berada di dekat taman rusa kata Gunadi, setiap hari setidaknya bisa ribuan mahasiswa yang datang melakukan penelitian dan pembacaan alat. Mereka berasal dari UGM seperti fakultas Pertanian, Geografi, Biologi, hingga Kehutanan maupun kampus luar UGM.
” Bukan hanya mahasiswa UGM namun juga kampus lain di Yogya ini datang kesana,’ imbuh Gunadi.
Senada dengan Gunadi, laboran yang juga pengamat cuaca Stasiun meteorologi Fakultas Pertanian, Buntoro,S.E., mengatakan setelah lokasi stasiun pindah di sisi timur lembah UGM beberapa alat ukur yang dimiliki hilang seperti anemometer, solarimeter, dan aktinograf. Padahal harga alat-alat ini cukup mahal dan sulit dicari gantinya.
” Bahannya dari kuningan.Sekarang sulit dicari lagi dan mungkin sudah tidak ada,” ujar Buntoro.
Yang tersisa dan ada di sana saat ini hanya panci evaporasi dan anemometer 10 m. Beberapa lainnya sudah diamankan dan dipindah di Fakultas Pertanian. Alat ukur manual (konvensional) semacam ini sebenarnya patut dipertahankan karena masih cukup akurat.
” Meskipun sekarang sudah ada Automatic Weather Station (AWS)yang digunakan untuk mendeteksi dan memprediksi kondisi cuaca, sistem manual seperti yang kita miliki tak kalah bagus dan akurat,’ tutur Buntoro.
Seiring dengan hilangnya beberapa alat ukur cuaca dan iklim yang dimiliki Stasiun Meteorologi Pertanian itu, Gunadi maupun Buntoro sepakat agar lokasi stasiun bisa dikembalikan di koordinat awalnya yakni dekat taman rusa.
Selain bisa mulai dirintis untuk dikembalikan fungsinya, dari sisi keamanan akan lebih terjamin. Mahasiswa juga bisa lebih bebas meneliti dan mencari data-data cuaca, sedangkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun akan tetap rutin mendapatkan pasokan data dari UGM.
” Kegiatan terus terang semakin berkurang bahkan vacum. Dulu justru kita yang sering kirim data ke BMG Semarang sebelum diolah dan disebar ke stasiun lain. Sekarang justru kita yang dapat report bulanan,” pungkas Buntoro (Humas UGM/Satria)