Adagium kuna menyatakan setiap seratus tahun akan terjadi titik balik peradaban. Persoalannya apakah titik balik tersebut akan mengarah pada kebaikan, ataukah pada kesengsaraan (keburukan). “Inilah yang masih harus diperdebatkan. Bahwa banyak permisivisme dalam kehidupan telah membuat miris kaum beriman dan penganut aliran humanisme. Permisivisme budaya yang menggejala dalam lima tahun terakhir menyebabkan banyak perubahan dalam kehidupan umat manusia,” ujar Prof. Dr. Abdul Munir Mulkan, SU, di ruang seminar Lantai V Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (22/7) saat membedah pemikiran Fritjof Capra dalam seminar “Great Thinkers”.
Abdul Munir Mulkan mengatakan pelajaran berharga dari tesis Fritjof Capra adalah hubungan pararel perkembangan sains dan perilaku serta sistem sosial-budaya. Sains Cartesian dan Newtonian yang mekanistis dalam Materialisme dan Rasionalisme ekstrim melahirkan beragam krisis dalam sistim sosial-budaya yang hedonis narsistis, ketika kehidupan sosial dimaknai sebagai jumlah sifat-sifat individu.
Kini munculnya visi sains holistik-spiritual dalam sistim sosial-budaya yang sedang mencari bentuk mungkin bisa diberi label Neo-Komunalisme. Sementara di saat yang sama dunia perguruan tinggi seperti kehilangan arah dan tujuan bagi kemanusiaan universal. “Hal itu dilukiskan Julien Benda sebagai pengkhianatan ketika tergiur glamournya kekuasaan,” papar dosen Universitas Islam Negeri Yogyakarta ini.
Dalam kerangka memahami apa yang sedang terjadi di negeri dalam perspektif Capra, kata Abdul Munir Mulkan, penting untuk melihat sejenak dinamika sosial-budaya negeri ini sepanjang kurang lebih setengah abad kebelakang. Namun yang menjadi catatan perlunya mengkaji ulang anggapan bahwa pada dasarnya manusia itu baik kecuali sistem dan pendidikan yang menjadikannya buruk. (Humas UGM/ Agung)