Perbedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi persoalan sepanjang tidak mengalami ketidakadilan gender. Namun, fakta menunjukkan sebaliknya, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan tidak sekadar pada dataran biologis-psikologis, tapi sudah menyiratkan hegemoni laki-laki atas perempuan.
Dengan sejumlah cara dan melalui berbagai disiplin ilmu pengetahuan (sejarah, anthropologi, sosiologi, seni) termasuk sastra, laki-laki telah menjustifikasi hegemoni mereka. Wilayah sastra telah digunakan untuk mediasi laki-laki dalam melanggengkan hegemoninya. Bagi perempuan hubungan semacam ini tidak ubahnya seperti pungguk merindukan bulan. “Apa yang diharapkan berbeda dengan kenyataan. Berdasar itulah penelitian ini menjadi penting untuk mengungkapkan peran sastra terhadap masyarakat dengan mendeskripsikan isu-isu perempuan dalam karya sastra, terutama mencakup bagaimana citra perempuan dan relasi gender yang dipresentasikan dalam novel-novel 1920-2000 dengan menggunakan feminisme Islam,” ujar Didi Suhendi, S.Pd., M.Hum, Rabu (22/7) saat melangsungkan ujian terbuka program doktor UGM.
Dikatakannya agama berperan penting dalam melegitimasi dan menguatkan posisi inferioritas perempuan atas laki-laki dan berpengaruh besar terhadap novel-novel Indonesia. Pengaruh itu disebabkan kuatnya ideologi dan pandangan patriarkis para agamawan. “Penafsiran-penafsiran terhadap teks-teks keagamaan (Al-Quran dan hadis-hadis misoginis) yang tidak memperhitungkan konteks sosial telah menjadi praktik keberagamaan masyarakat novel,” papar Didi Suhendi, staf pengajar FKIP, Unsri Palembang.
Dalam desertasi “Perempuan Dalam Novel-Novel Indonesia 1920-2000: Kajian Kritik Sastra Feminis Islam”, Dedi mengungkapkan pemahaman feminisme Islam telah menyingkirkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sementara itu anggapan yang meyakini bahwa perempuan ideal adalah perempuan rumah tangga yang perannya hanya mengurus anak (sebagai ibu) dan melayani kebutuhan suami (sebagai istri) telah melekat dalam masyarakat novel. “Banyak kekerasan gender yang dilakukan tokoh laki-laki terhadap tokoh perempuan muncul dalam novel-novel penelitian. Persoalan-persoalan yang dialami perempuan dalam seluruh periode novel pun muncul, seperti ketergantungan dan ketidak berdayaan, inferioritas dan marginalisasi ke ruang domestik,” papar suami Siti Fatimah, S.Ag, ayah tiga putra ini.
Dari hasil penelitian Dedi berkesimpulan ada jarak keberagamaan antara praktik keagamaan (Islam Historis dan Islam peradaban) yang terdapat dalam masyarakat novel dan ajaran normatif-ideal Islam (Islam normatif). Bahwa peran-peran perempuan yang ditampilkan dalam novel 1920-2000 lebih menunjuk pada Islam sosiologis-empirik yang menempatkan perempuan sebagai suplemen laki-laki. Sementara itu, Islam normatif-ideal (yang menjunjung prinsip kesetaraan laki-laki dengan perempuan) masih merupakan wacana, respons dan menjadi kritik yang terus menerus menerus diperjuangkan para tokoh perempuan novel Indonesia 1920-2000 yang sadar akan gender.
Oleh karena itu penelitian isu-isu perempuan dalam teks sastra (puisi, novel, dan drama) dengan perspektif kultural perlu dilakukan mengingat faktor ini turut berperan menciptakan ketidakadilan gender. Selain itu perlu menggunakan perspektif agama maupun budaya guna mengetahui pandangan, opini dan persepsi pengarang perempuan terhadap kaumnya. (Humas UGM/ Agung)