Potret pemenuhan hak reproduksi perempuan belum memadai. Perempuan remaja belum paham atas resiko terberat dari melakukan hubungan seks. Terutama berbagai penyakit yang mungkin menular dari pasangannya.
Data PKBI DIY tahun 2008 menunjukkan anak-anak remaja sangat membutuhkan info kesehatan reproduksi, bahkan 67% diantaranya menyatakan persetujuan bila pendidikan seks diajarkan melalui muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah. Meskipun akhirnya masih menjadi perdebatan. “Perdebatan ini tentu akan kembali pada manfaat apa yang didapat dengan mulok, sementara masih banyak materi lain yang belum disampaikan di sekolah,” kata aktivis LBH APIK, Dra. Budi Wahyuni, M.A, Kamis (22/7) pada seminar “Perlindungan Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) di ‘Shelter’ (Rumah Aman): Reproduksi Perempuan”.
Menurut Budi Wahyuni kehadiran shelter apapun alasannya perlu untuk ditelaah lagi. Disamping tidak sedikit memakan biaya, shelter terkadang tidak hanya dihuni klien akibat Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD), namun korban KDRT (Kekerasan Dalam rumah Tangga) juga korban Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) pada umumnya. “Perempuan pengelola shelterkorban KDRT sempat mengungkapkan bahwa shelter itu costly. Belum lagi biaya ibu shelter yang harus menunggu. Ibarat siap 24 jam nonstop,” katanya lagi saat menjadi pembicara di seminar itu.
Sementara itu kehadiran pengelola shelter seperti konselor yang berstatus part timer dan volunteer terlihat jarang bersama-sama dengan klien KTD. Bahkan kepentingannya menjadi bergeser sekedar menemani periksa ke dokter ahli kandungan, atau mencarikan isi kulkas untuk persediaan makanan klien. Disamping klien yang acapkali bersia lebih tua dari konselor, ia juga enggan diajak bercerita karena sang klien nampaknya tidak berkeinginan mengulang ceritanya yang tidak menyenangkan. “Ini bukan cerita sinetron, namun ada diantara penghuni shelter,” tambahnya.
Hasil penelitian mengungkapkan hampir semua penghuni shelter pernah berupaya menghentikan KTDnya. Namun dengan berbagai hambatan yang ada mereka gagal menghentikan. Lantas mereka pun ke shelter sebagai salah satu solusi untuk berlindung sampai tiba saatnya bisa beraktivitas lagi tanpa hambatan.
Kehadiran rumah aman pun nampaknya juga bukan hal yang sederhana, karena masyarakat sepertinya belum bisa menerima sepenuhnya. Dibanding dengan shelter yang secara sadar dibuka ke publik, maka prinsip rumah aman menjadi sesuatu yang sangat berbeda. Atau barangkali lebih tepat jika diberi nama rumah singgah. “Karena memang klien diharapkan tidak lama berada di rumah singgah. Untuk klien yang bersifat titipan maka diberi kesempatan maksimal 2 minggu, namun jika berstatus rujukan atau diserahkan sepenuhnya pada pendamping maka tergantung dari kasus yang dialaminya,” jelasnya.
Diakhir seminar Budi wahyuni menegaskan kehadiran shelter hingga saat ini tetap dibutuhkan. Kehadirannya menjadi salah satu alternatif untuk melindungi perempuan dari ancaman berikutnya yaitu perlakuan yang tidak menyenangkan dari anggota keluarga atau komunitasnya. (Humas UGM/ Agung)