JOGJAKARTA (KU) – Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof. Dr. Djamaludin Ancok berpendapat kajian warisan budaya filosofi model kepemimpinan masa lampau potensial untuk dikembangkan secara profesional di masa kini. Melalui uji kesahihan, kevalidan, dan reliabilitas secara akademis diharapkan bisa digunakan sebagai alat ukur untuk uji pengembangan SDM dan kelayakan calon pemimpin nasional.
“Saat ini banyak alat ukur model kepemimpinan yang berasal dari luar negeri diterapkan di tanah air. Sebenarnya, model kepemimpinan yang ada dari luar, belum tentu cocok dengan akar budaya kita,†ungkap Djamaludian acok kepada wartawan ditemui disela-sela kegiatan The First International Conference of Indigenous and Cultural Psychology, di Gedung University Club UGM, Senin (26/7).
Beberapa model model kepemimpinan yang pernah dikembangkan oleh Prabu Siliwangi tahun 1482-1521, Ki Hadjar Dewantara 1939, dan teori kepemimpinan dalam Asta Brata yang bersumber pada ajaran Hindu misalnya bisa dikaji kembali untuk dijadikan konsep model kepemimpinan yang bisa diterapkan secara nasional.
“Ki Hadjar Dewantara salah satu sumber ajaran kepemimpinan yang banyak dirujuk dalam pendidikan dan pengembangan SDM. Sementara masyarakat di Jawa Barat punya juga referensi dari Prabu Siliwangi dengan konsep silih asih, silih asah dan silih asuh. Kita juga mengenal teori kepemimpinan dalam Asta Brata yang bersumber pada ajaran Hindu. Itu banyak mewarnai pola pikir masyarakat kita hingga kini,” kata Ancok.
Melalui kajian model kepemimpinan masa lampau, kata Ancok, bisa didapatkan pemahaman yang lebih lengkap soal kepemimpinan dan manajemen sumber daya manusia di perusahaan. Penerapan kepemimpinan sesuai konteks budaya lokal diyakini mampu meningkatkan kinerja organisasi/perusahaan. “Penerapan manajemen yang tepat akan membawa budaya perusahaan jadi lebih unggul. Itu harus bersumber pada pemahaman psikologi sumber daya manusia yang tepat,â€ujar Pria kelahiran Bangka, 18 Agustus 1946 ini.
Ancok juga mengkritisi uji indeks kepemimpinan nasional yang diterapkan lembaga Lemhanas kini masih menggunakan alat ukur model kepemimpinan dari luar negeri. Menurutnya, lembaga seperti lemhanas, kemendiknas, LIPI dan lembaga riset lainnya bisa bersinergi melakukan kajian terapan model kepemimpianan nasional yang sesuai dengan karakter akar budaya bangsa sendiri.
Berbicara di hadapan peserta konferensi dari berbagai Negara, Ancok mejelaskan, masalah kepemimpinan di Indonesia memang banyak dipengaruhi filsafat lama. Adapun indigeneous psychology menawarkan faktor analisis tidak hanya top down tapi juga bottom up katanya.
Selain Ancok, sejumlah ahli dari berbagai negra turut menyumbangkan pemikiran dan temuan terkait kajian psikologi dari sudut pandang indegenous . Madelene Sta Maria, psikolog dari De La Salle University Manila Filipina menjelaskan di tahun 1990-an sudah berkembang indegenous psychology yang berangkat dari respon bahwa hasil kajian akademisi di barat tidak selamanya cocok dan sesuai konteks di masing-masing negara.
Lahirnya kajian indegenous psychology juga bertujuan untuk membebaskan mahasiswa dari dominasi pemikiran psikologi barat yang lepas konteks.
“Banyak mahasiswa belajar psikologi barat. Tapi sulit enerapkan ilmu karena memang tak selalu cocok. Hadirnya kajian indegenous psychology bisa membantu pemahaman lebih bagus terkait konteks lokal yang cocok untuk diterapkan,” kata Madelene.
Konferensi internasional yang berlangsung 24-27 Juli ini menghadirkan 300 peserta yang berasal dari 28 negara . Di antaranya ahli dari Amerika Serikat, Meksiko, Kanada, Inggris, Polandia, Afrika Selatan, Mesir, Sudan, Kenya, dan New Zealand. (Humas UGM/Gusti Grehenson)