Di tengah gencarnya kemajuan teknologi informasi dan pengaruh budaya barat, salah satu budaya lokal nusantara yang masih terus menggeliat dalam mempertahankan tradisis leluhurnya hingga sekarang adalah tradisi ‘Nadran’ di daerah pesisir pantai utara Cirebon.
Tradisi ‘Nadran’ dikenal juga sebagai pesta atau sedekah laut, sedekah bumi, upacara buang saji atau labuh saji. Dalam prosesi pelaksanaannya biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng. Kepala kerbau tersebut dibalut dengan kain putih dan kemudian bersama dengan perangkat sesajen lainnya dilarung ke tengah laut lepas dan kepala kerbau tersebut ditenggelamkan.
Sementara nasi tumpeng dan lauk pauk lainnya dibagi-bagikan kepada anggota masyarakat sekitarnya, yang biasa disebut sebagai bancaan atau berkah. Umumnya upacara ini disertai dengan penyajian tari-tarian, pegelaran wayang kulit, doa-doa dan mantra dan sesajen.
“Tradisi ini memiliki landasan filosofis yang berakar dari keyakinan keagamaan dan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh masyarakat setempat sebagai salah satu cara bagaimana masyarakat nelayan mengekpresikan rasa syukur mereka pada Sang Maha Pencipta atas tangkapan ikan yang mereka peroleh serta permohonan keselamatan dalam mencari nafkah di laut,†kata Dra Hariyani Agustina, MM dalam ujian terbuka promosi Dotor Ilmu Filsafat di Ruang Seminar Lantai V Gedung Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (21/4). Promovendus menyampaikan judul disertasi ‘Nilai-nilai Filosofis Tradisi Nadran Masyarakat Nelayan Cirebon: Relevansinya Bagi Pengembangan Budaya Kelautan’.
Didampingi promotor Prof Dr Djoko Suryo dan ko-promotor Prof Dr Lasiyo MA, MM, Promovendus yang dilahirkan di Palembang, 28 Agustus 1951 ini mengatakan, hal yang menarik dari tradisi Nadran adalah kandungan nilai-nilai filosofis yang termuat dibalik rangkaian upacara tersebut.
“Nilai-nilai filosofis yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk-tari-tarian, nyanyian, doa-doa dan ritus-ritus lainnya,†kata Dekan FISIP Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon ini.
Menurut isteri dr Askar Chusaeri SpB ini pemahaman terhadap nilai-nilai tersebut kemudian dapat ditransformasikan dalam membangun kehidupan masyarakat kelautan ke taraf yang lebih maju dan lebih baik, baik dari sisi pendidikan, ekonomi maupun solidaritas sosial budaya.
“Nadran sebagai sebuah tradisi yang lahir dari masyarakat pesisir sangat berguna dalam memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan nasional berbasis kelautan. Salah satunya di bidang pendidikan. Penjabarannya dapat dilakukan dengan memuat muatan tradisi lokal pada kurikulum sekolah nasional maupun menjadi salah satu mata kuliah yang perlu diajarkan di perguruan tinggi,†jelasnya.
Dalam konteks relasi sosial, tradisi ‘Nadran’ dapat meningkatkan persaudaraan antarwarga desa yang selama ini warga yang tinggal di sekitar pesisir dikenal memiliki watak dan karakter yang keras.
Meskipun demikian, Heriyani mengkritisi jika dalam konteks kekinian, Nadran tidak lagi terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, namun lebih ke arah sarana hiburan semata bagi masyarakat.
“Nadran seolah kehilangan ruhnya, ini trelihat dari banyaknya masyarakat yang telah mulai meninggalkan pesan-peasan moral, bahkan hiburan yang menyertai Nadran lebh banyak dalam bentuk campur sari dan dandutan, yang terkadang malah ada yang mengarah kepada kemaksiatan. Dengan demikian Nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya, dan ini perlu dibenahi kembali oleh pemerintah daerahnya,†terangnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)