Peran tumbuhan bagi masyarakat tradisional hampir tidak tergantikan oleh obat-obatan modern kimiawi. Sejak lama bangsa Indonesia mengenal khasiat berbagai macam jenis tanaman sebagai sarana perawatan kesehatan, pengobatan serta untuk mempercantik diri yang selama ini dikenal sebagai jamu.
Berbagai produk alami yang berasal dari tumbuhan telah menjadi komoditi komersial, dan menarik bagi para pengusaha bahan alam. Bahkan pasar dalam negeri untuk produk herbal telah mengalami peningkatan dari sekitar Rp 1 trilyun pada tahun 2000 menjadi Rp 2 trilyun pada tahun 2002. Dalam perkiraan angka ini akan terus mengalami peningkatan mencapai Rp 6 trilyun pada tahun 2010.
Menurut Prof. Dr. Mae Sri Hartati Wahyuningsih, M.Si., Apt kondisi tersebut diatas dapat terwujud karena ketersediaan sumber daya hayati tumbuhan obat di hutan Indonesia sangat melimpah. Diperkirakan sekitar 30.000 spesies tumbuhan dapat dijumpai di Indonesia, sementara sekitar 9600 spesies diantaranya berkhasiat sebagai obat. Dari jumlah tersebut baru sekitar 300 jenis spesies yang telah dimanfaatkan untuk keperluan industri obat dan jamu.”Pemakaian obat bahan alam untuk pengobatan telah lama dipraktekkan masyarakat Indonesia karena hasil dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung. Oleh karenanya tidak mengherankan bila penggunaan obat bahan alam cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dengan semakin meningkatnya pemakaian jamu oleh masyarakat dan di sisi lain industri obat bahan alam terus berkembang,” ujarnya di ruang Balai Senat, Selasa (3/8) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM.
Dalam pandangan Mae Sri Hartati dalam upaya mengembangkan obat bahan alam terdapat beberapa faktor yang sangat menentukan keberhasilan. Beberapa faktor tersebut adalah ketersediaan bahan baku, ketersediaan obat dalam jenis dan jumlah yang cukup, keterjaminan kebenaran khasiat, mutu keabsahan obat bahan alam yang beredar serta kepastian perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan obat yang dapat merugikan/ membahayakan masyarakat. Dalam kondisi seperti saat ini maka upaya yang paling tepat adalah mendorong pengembangan obat herbal jamu ke arah obat herbal berstandar dan fitofarmaka dengan harapan dapat mengurangi ketergantungan terhadap obat modern yang hampir seluruh bahan bakunya masih diimport,” ungkap perempuan kelahiran Sleman 3 Oktober 1960 ini.
Mengucap pidato “Potensi Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia Untuk Penyakit Kanker: Tantangan dan Harapan”, istri Drs. A. Karim Zulkarnain, M.Si., S.E., Apt ini menyatakan pengembangan obat antikanker yang ada saat ini selain bersifat antiproliferatif terhadap sel kanker juga terhadap sel normal. Oleh karena sifat itu maka obat antikanker ini memiliki indeks terapi sempit dan selektivitas rendah. Selain itu munculnya resistensi terhadao berbagai obat antikanker tidak dapat terhindarkan.
Dikatakannya obat antikanker menimbulkan kematian sel kanker melalui beberapa mekanisme kerja. Diantaranya memacu apoptosis karena program apoptosis dapat dimanipulasi untuk memacu kematian sel maka gen dan protein berperan di dalamnya dan dapat menjadi target pengembangan antikanker. Selain itu mampu mengatur siklus sel dan mengendalikan checkpoint. “Obat dalam golongan ini mengganggu siklus sel dengan mempengaruhi RNA, DNA dan protein-protein lain yang terlihat dalam siklus sel sehingga dapat menghambat proliferasi dan memicu apoptosis pada sel tumor yang sensitif,” papar ibu tiga anak ini. (Humas UGM/ Agung)