Yogya, KU
Pemberian lisensi pengolahan hutan dan hak negara untuk mendapatkan hasil dari proses itu dengan jelas menunjukkan bahwa secara hukum, negara telah menjadikan dirinya sebagai ‘pemilik‘ hutan betapapun mungkin masyarakat adat senantiasa menyuarakan hak ulayat mereka akan kepemilikan hutannya.
“Pemberian lisensi pengolahan hutan seakan-akan membagi-bagi hutan atas kepingan-kepingan yang bisa dikuasai oleh pemegang lisensi yaitu mereka yang mempunyai kedudukan dekat dengan kekusaaan,†jelas Budayawan UGM Prof Dr Taufik Abdullah dalam pidato Orasi Kebudayaan yang disampaikan dalam rangka memperingati satu tahun berdirinya Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, Selasa (22/4).
Dalam pidato orasinya yang berjudul ‘Negara, Masyarakat dan Lingkungan’, Taufik Abdullah mempertanyakan kembali, mengapa hanya mereka yang pegang lisensi saja boleh membalak hutan, padahal kehidupan penduduk yang tinggal di sekitar areal hutan tidak diperhitungkan sama sekali oleh negara. Padahal, seharusnya negara membiarkan saja penduduk tersebut melanjutkan kehidupannya bersama hutan yang telah dilalui sekian generasi.
Menurut Taufik, akibat dari kebijakan negara yang memberikan lisensi mengelola hutan telah menyebabkan sekitar 3,8 juta hektar areal hutan hilang setiap tahun. Atau lebih sederhananya, dalam waktu semenit, hutan telah hilang seluas 6 kali lapangan sepak bola.
“Sangat memprihatinkan, dampak dari pembalakan liar ini pun harus diterima pahit oleh penduduk dengan datangnya bencana banjir dan tanah longsor dikala musim hujan tiba. Sedangkan bila musim panas datang, polusi asap dari kebakaran hutan telah menjadi peristiwa rutin yang mesti diterima oleh mereka,†katanya.
Guru besar ilmu sejarah fakultas Ilmu Budaya UGM ini, kembali menegaskan peristiwa perusakan hutan yang bersifat kriminal berkelompok ini menunjukkan betapa kurangnya kesadaran sebagai anak bangsa akan pentingnya pemelihraaan alam demi kelanjutan hidup.
Oknum pembalakan liar, selain melibatkan cukong dan penebang kayu, namun juga melibatkan pejabat negara dan aparat pemerintah. Hal ini jelas menunjukkan pemeliharaan alam tidak lagi mempunyai tempat yang terhormat bagi sebagian anggota masyarakat
“Sekian banyak kasus pembalakan liar, nyatanya malah melibatkan anggota dari berbagai golongan masyarakat, mulai dari cukong, penebang kayu, bahkan aparatur negara,†katanya.
Meskipun demikian, masih ada berbagai suku yang masih terus memelihara kearifan lokalnya untuk menjaga hubungan timbal balik dan harmonis dengan alam.
“Kesadaran kultural sangat penting dalam menjalin hubungan manusia dengan alam di tengah sikap masyarakat yang sedang menginjak modern dan cenderung melihat alam sebagai tantangan yang harus dikalahkan dan bila perlu dieksploitir,†kata mantan ketua LIPI ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)