YOGYAKARTA- Krisis moneter sekitar tahun 1998 lalu sempat mengakibatkan kenaikan dan fluktuasi nilai tukar dolar AS terhadap rupiah secara drastis. Harga barang dan jasa impor naik dengan pesat. Diantara barang impor yang harganya meningkat adalah barang modal, bahan baku dan bahan penolong yang merupakan input bagi sektor industri. Salah satu sub sektor industri yang memiliki kandungan bahan baku impor tinggi adalah industri kimia.
Meski industri kimia menjadi salah satu industri yang terkena dampak dari krisis tersebut, upah nominal pekerja industri kimia cukup tegar untuk turun (tidak turun) kecuali upah nominal pekerja industri. Hal ini diungkapkan oleh Joko Susanto, SE, M.Si, staf pengajar Fakultas Ekonomi UPN Veteran Yogyakarta ketika mempertahankan disertasinya yang berjudul Ketegaran Upah Nominal di Indonesia (Studi Pada Industri Kimia Periode 1997-2005) di Auditorium BRI Lt.3 Program M.Si dan Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Senin (9/8).
“ Penelitian yang saya lakukan menghasilkan kesimpulan bahwa upah nominal pekerja industri kimia tegar untuk turun kecuali upah nominal pekerja produksi,†kata Joko dalam disertasinya.
Ditambahkan Joko, kinerja industri kimia waktu itu sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku impor. Kenaikan harga bahan baku impor, akibat kenaikan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah berdampak pada kenaikan biaya produksi. Dalam disertasinya Joko menyebutkan pekerja industri kimia terdiri dari pekerja produksi dan non produksi. Ketidaktegaran upah nominal pekerja produksi dikarenakan tunjangan pekerja produksi bersifat variable sesuai dengan produktifitas pekerja dan kinerja perusahaan.
“ Penurunan produktifitas pekerja akan diikuti dengan penurunan tunjangan pekerja produksi sehingga upah nominal yang diterimanya turun. Untuk pekerja non produksi, penurunan produktifitas hanya berdampak pada penurunan tunjangan variable saja,†kata pria kelahiran Sleman, 2 Maret 1968 itu.
Ketegaran upah nominal untuk turun dipengaruhi secara positif oleh produktifitas pekerja, harga output dan upah minimum sektoral propinsi (UMSP). Kenaikan produktifitas pekerja, harga output dan upah minimum sektoral propinsi mengakibatkan probabilitas terjadinya penurunan upah nominal semakin kecil. Sementara itu, pengesahan undang-undang serikat pekerja dan terjadinya krisis moneter tidak berpengaruh pada ketegaran upah nominal.
“ Hal ini menunjukkan lemahnya serikat pekerja. Dalam satu perusahaan, sering kali terdapat lebih dari satu serikat pekerja yang sulit untuk bekerja sama satu sama lain,†urainya.
Berdasar hasil penelitiannya tersebut maka Joko menyarankan agar perusahaan perlu mendesain sistem pengupahan agar pada saat skala produksi dan produktifitas pekerja mengalami penurunan, perusahaan tidak terlalu dibebani dengan biaya upah pokok pekerja. Upah pokok pekerja produksi dan non produksi cukup ditetapkan sama atau sedikit lebih tinggi dari upah minimum sektoral propinsi (UMSP) dan kebutuhan hidup layak (KHL).
“ Pada saat produktifitas pekerja turun, tunjangan variable juga mengalami penurunan. Untuk itu, perusahaan dapat menentukan skema pengupahan dengan memberikan bobot yang lebih besar pada tunjangan variable,†tegas dosen Fakultas Ekonomi UPN Yogyakarta ini.
Dalam ujian terbuka program doktor tersebut Joko Susanto berhasil lulus dengan hasil memuaskan. Sementara itu bertindak sebagai promotor adalah Prof. Dr. Nopirin, ko-promotor Dr.Budiono Sri Handoko, MA dan Dr.Bagus Santoso, M.Soc.,Sc. Sedangkan tim penguji Prof.Dr Iswardono S.Permono,MA, Dr. Soeratno,M.Ec, Dr.Samsubar Saleh, M.Soc.Sc, dan Dr.Faried Wijaya,MA.( Humas UGM/Satria)