Kegagalan pembangunan hutan tanaman menuntut adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan, dari pendekatan konvensional timber management menuju strategi kehutanan sosial. Belajar dari kegagalan tersebut, strategi kehutanan sosial meliputi pengelolaan sumberdaya hutan (Forest Resource Management, FRM) dan pengelolaan ekosistem hutan (Forest Ecosystem Management, FEM).
Menurut Ir. Bahdarsyah., M.Pd kedua bentuk pengelolaan hutan pada strategi kehutanan sosial ini bersifat komplementer dengan dirancang mengikuti prosedur perencanaan artikulatif dan berbeda dalam perumusan manfaatnya. “Kehutanan sosial merupakan suatu strategi, model atau pendekatan penting dalam pengembangan kehutanan yang menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya hutan, pemecahan masalah penduduk lokal, penyelesaian berbagai konflik, mengharmoniskan hubungan manusia dan kehutanan, perubahan sosial, terintegrasi dengan keragaman serta pemeliharaan lingkungan,” papar Bahdarsyah, Widyaiswara Madya di Balai Diklat Kehutanan Pekanbaru saat ujian terbuka program doktor UGM, Senin (9/8).
Bahdarsyah menjelaskan paradigma kehutanan sosial ditekankan tidak sekedar menghasilkan kayu, namun juga diarahkan untuk menghasilkan berbagai ragam hasil hutan, termasuk pangan, pakan ternak, buah, air, satwa liar, habitat dan keindahan serta mendistribusikan secara adil dalam pemenuhan kebutuhan berbagai kelompok masyarakat. “Dimensi sosiologi yang perlu diperhatikan dalam kehutanan sosial meliputi lahan, tenaga kerja, kependudukan dan lembaga sosial,” jelas pria kelahiran Lubuk Linggau, Musi Rawas 12 April 1962 ini.
Dikatakannya kehutanan sosial berkaitan dengan cara pengambilan keputusan dan bagaimana mempengaruhi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Untuk kepentingan kedua hal tersebut dapat dilakukan langkah-langkah dengan memahami kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan rencana pengelolaan, mengakui perlunya distribusi manfaat hutan, serta sejumlah ukuran penting terkait kapasitas dan kemampuan adaptasi masyarakat dalam mengukur akibat rencana pengelolaan hutan. “Pada hakekatnya hal ini sejalan dan tidak terpisahkan dari kegiatan pembangunan sosial. Inti pembangunan sosial merupakan usaha konkret dalam peningkatan kualitas hubungan sosial, interaksi sosial, sehingga tindak cukup hanya dengan pembangunan satu sektor saja,” katanya.
Hasil penelitian Unit HTI Pulp di Distrik Malako, Area Pelalawan, PT. Arara Abadi Riau, Provinsi Riau menunjukkan dimensi ekologi, produksi dan sosial belum dikelola secara proporsional. Pada seluruh kawasan hutan tanaman, realisasi peruntukkan areal tanaman pokok, unggulan, kehidupan, kawasan konservasi, dan sarana prasarana berturut-turut 67%, 5%, 1%, 6% dan 2%, sisanya 19% dalam status konflik, sedangkan pada tingkat distrik 42%, 4%, 1%, 3% dan 1%, sisanya 49% dalam status konflik.
Selain itu praktek silvikultur THPB pada HTI belum mampu mengembalikan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupan, bahkan belum mampu menciptakan hutan normal. Kekurangberhasilan tercermin dari rendahnya realisasi penanaman berkisar 20-40%, rendahnya kemampuan sebagai penyedia bahan baku industri sekitar 34%, potensi hutan tanaman pada umur daur berkisar 143-160 m kubik per ha, penebangan berfluktuasi, monokultur, miskin ragam hasil hutan dan daur tunggal.
Dalam desertasi “Strategi Pembangunan Hutan Tanaman Berwawasan Kehutanan Sosial” Bahdarsyah berkesimpulan pembangunan hutan tanaman industri belum mampu mendukung terwujudnya upaya rehabilitasi hutan, penyuplai bahan baku industri kayu, dan berkontribusi terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat setempat. “Oleh karena itu berbagai temuan penting penelitia ini dapat dijadian petunjuk dalam mendukung keberhasilan pembangunan hutan tanaman di masa mendatang,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung).