JOGJAKARTA (KU) – Wagiyem, 63 tahun, begitu sumringah, tersenyum haru dan bangga melihat panggung dan tenda berdiri di depan rumahnya. Dia tidak menyangka, jika peresmian pipa jaringan air bersih di dusunnya, Srunggo 1, kecamatan Imogiri, diresmikan secara besar-besaran. Apalagi pimpinan UGM dan Wakil Bupati Bantul datang langsung menengok bak air penampung yang baru 2 minggu ini dialirkan airnya.
Di samping kandang sapi depan rumahnya, bersama Bu Nurwiyarjo, mereka berdua menyimak satu per satu pejabat menyampaikan pidato sambutan. Sesekali mereka bertepuk tangan saat Sumarno, Wakil Bupati Bantul, setiap kali selesai menyampaikan satu dua kalimatnya.
Dengan tutur kata bahasa jawa yang halus, Wagiyem menyampaikan rasa syukurnya karena desanya kini tidak lagi kesusahan mendapatkan air bersih. Baginya, semua ini hasil dari pemberian yang Maha Kuasa melalui mahasiswa UGM yang membangun pipa air ke rumahnya. “Saya dan masyarakat berterima kasih sekali, kini bisa dapatkan air untuk sehari-hari,” kata ibu dari lima anak ini.
Sambil sesekali merapikan selendang yang dikenakan di kepalanya. Wagiyem masih ingat, bagaimana ia bersama warga lainnya berduyun-duyun mengambil air di sebuah sumber mata air dekat goa cerme. Lokasinya berada di sebelah timur dari dusun mereka. Namun air yang mereka ambil susah payah itu hanya sebatas cukup memenuhi kebutuhan masak dan minum. Padahal, mereka harus berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer untuk mendapatkannya. Bertahun-tahun, pekerjaan itu mereka lakoni. Sempat tahun 2006, mata air itu ambles tertimbun longsor karena gempa. Mereka pun menggalinya kembali agar tetap bisa diambil airnya.
Tahun 2009, mahasiswa KKN PPM UGM datang ke dusun mereka. Mereka melakukan penelitian untuk program pembuatan pipa air. Masyarakat begitu antusias. Saat dua bulan lalu mulai dilakukan penggalian saluran pipa dan sumur galian, semua warga ikut membantu. “Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa ikut Kerja bakti,” ujarnya.
Sebagian besar warga dusun Srunggo berprofesi sebagai petani tembakau. Ada pula yang bercocok tanam padi. Namun karena kesulitan air, setiap warga dijatah untuk menanam padi. Akhirnya, banyak yang memilih menjadi petani tembakau. Sebelum dibangun pipa air, untuk memenuhi kebutuhan air, mereka membuat sumur kecil yang mereka sebut ‘belik’. Karena tidak semua rumah punya sumur yang ada airnya, mereka harus antri mengambil air hingga 1-2 jam. “Musim kemarau susah cari air. Sumur pun kering. Air dari goa cerme, hanya cukup minum dan masak, untuk mandi tidak bisa.,” kata Parman, 50 tahun, salah satu warga lainnya.
Kendati kebutuhan air minum, sudah tidak lagi menjadi masalah bagi warga Srunggo. Parman berharap suatu saat para petani di dusunnya bisa menanam padi dengan air yang selalu mengairi sawah mereka setiap saat. (Humas UGM/Gusti Grehenson)