Indonesia dinilai masih melakukan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas salah satunya kelompok Lesbian-Gay-Biseksual-Transgender (LGBT). Perlakuan tersebut ditunjukkan dengan tidak konstistennya Negara dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap kelompok ini.
“ Negara terlihat tidak menunjukkan proteksi dan pengakuan pada kelompok dengan orientasi seksual dan identitas yang berbeda secara nyata,†kata Nusyahbani Katjasungkan, Rabu (11/8) saat jumpa pers di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
Seperti diketahui secara legal Negara sebenarnya sudah menjamin hak asasi manusia melalui amandemen UUD 1945 dalam UU No. 39 Tahun 1999. Disamping itu juga telah melakukan ratifikasi terhadap berbagai instrument hak asasi manusia internasional. “Pemerintah dengan tegas menyebutkan bahwa kelompok LGBT merupakan salah satu kelompok yang harus dilindungi oleh Negara. Namun kelompok ini masih saja mendapatkan berbagai intimidasi yang dilakukan kelompok fundamentalis yang mengatasnamakan suatu agama,†jelasnya.
Isu seksualitas menurut Nusyahbani selalu saja dihadapkan pada fundamentalisme agama dan budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat. Berbagai kelompok yang berbasis fundamentalisme agama acapkali mengintimidasi dan melakukan tindak kekerasan dengan mendasarkan agrumen mereka pada moralitas. “Fundalimse agama ini mengakibatkan ketakutan publik. Kelompok yang tidak menentang gerakan LGBT menjadi enggan mendukung kelompok ini,†urainya.
Prof. Muhajir Darwin, Kepala PSKK UGM, menyebutkan persoalan LGBT bukan semata-mata terkait dengan masalah legalitas, tapi sebagai sebuah realita sosial yang patut didiskusikan bersama. Berbagai dialog dan penelitian mengenai isu seksualitas dibutuhkan untuk meminimalisir berbagai bias yang ada dan bisa berpengaruh terhadap kebijakan. “Temuan maupun hasil yang ada diharapkan bisa disosialisasikan sehingga ujungya bisa didengar oleh pembuat kebijakan,†harapnya.
Sementara Hanan Sabea, peneliti Sephis (Program pertukaran selatan-selatan untuk riset dalam sejarah pembangunan, Belanda) mengungkapkan fenomena dikriminasi yang terjadi di Indonesia dan Mesir tidak jauh berbeda. Di Mesir kelompok LGBT mendapat peralakuan sama seperti halnya di Indonesia. “Kaum ini belum mendapatkan perlindungan sepenuhnya dari pemerintah. Mereka sering menerima intimidasi dari kelompok fundamentalis agama dengan menciptakan terror yang meresahkan masayarakat,†ungkapnya.
Sebelumnya, selama tiga hari (9-11/8) masih bertempat di PSKK UGM digelar dialog kebijakan internasional “Menjembatani Kesenjangan Penelitian Seksualitas dan Advokasi Hak-Hak Seksualâ€. Dalam kegiatan tersebut mempertemukan 45 peneliti, aktifis akar rumput, serta aktivis perubahan kebijakan dalam bidang seksualitas dari Banglades, India, Mesir, Suriah, Filipina, Brazil, Belanda, dan Indonesia.
Pertemuan tersebut bertujuan untuk menyebarluaskan hasil program penelitian Sephis tentanag seksualitas dan modernitas di Selatan. Juga mendiskusikan bagaimana mengimplemenatsi Yogyakarta Principles dalam kontek sosial budaya yang berbeda di berbagai Negara. (Humas UGM/Ika)