Masa transisi menjadi pilihan alternatif ditengah polemik masa depan Yogyakarta. Dalam pandangan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) Fisipol UGM, masa transisi merupakan jembatan bagi dikotomi mereka yang pro-penetapan dan pro-pemilihan.
Bahkan, menurut Dr. Bambang Purwoko, alternatif pilihan ini bukan lantaran jengah terhadap situasi saat ini. Namun, dinilai sebagai sesuatu yang strategis untuk menjembatani gap antara pemerintah pusat yang menghendaki Pilgub langsung, dan masyarakat Yogya yang berkeinginan Sultan dan Paku Alam ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.
“Periode masa transisi sendiri, sudah muncul sejak JIP merumuskan UU ini dua tahun lalu dan selesai setahun lalu. UU ini Juni 2007 masuk ke Depdagri, lama mengendap dan baru kita mulai membahasnya lagi setelah Dirjen Otda diganti,†ujar Bambang, Selasa (22/4) disela launching monograph on politics and government dan diskusi “Urgensi Transisi dalam Pengaturan Keistimewaan DIY†di ruang seminar Fisipol UGM.
Sementara, Dr. Pratikno menegaskan bahwa draft akademik JIP UGM tidak tidak mendikotomikan antara monarki dan demokrasi serta tidak mendikotomikan antara keistimewaan Yogyakarta dengan nasionalisme Indonesia.
“Itu adalah pemaknaan yang tidak ada dikotomi. Meskipun ketika dituangkan dalam perundang-undangan, terdapat loncatan yang harus menjembatani. Yaitu antara realitas empirik saat ini dengan apa yang terumuskan dalam undang-undang,†ujarnya.
Dimasa transisi, kata Pratikno, institusi Kasultanan dan Paku Alaman menjadi sesuatu yang urgen untuk membenahi keberadaan pararadya. Yaitu pembenahan didalam Kasultanan dan Paku Alaman itu sendiri.
Pratikno mengakui, masa transisi membutuhkan guidance. Meskipun, disisi lain tidak ada institusi yang sedemikian otonom.
“Karena ada media, civil society, ada pemerintah, ada pula institusi demokrasi yang lain,†tandasnya.
Oleh karena itu, katanya, secara teknis perlu mempersiapkan ketentuan-ketentuan lebih detail bagimana mengelola transisi. “Mulai dari siapa yang bertanggung jawab, voting sistem seperti apa, periode berapa lama, penganggaran, siapa pula yang melakukan monitoring dan evaluasi, sampai pada akuntabilitasnya. Hal-hal itu tentu perlu dipersiapkan, dan itu pula yang perlu diatur dalam peraturan pemerintah,†tukas Praktikno.
Selain sebagai upaya membangun sharing of knowledge, acara launching dn diskusi yang digelar Tim Peneliti JIP UGM dan S2 PLOD UGM ini, merupakan bagian dari upaya JIP UGM terlibat dalam proses kebijakan bagi pengembangan kepemerintahan yang demokratis dan efektif. (Humas UGM)