JOGJAKARTA (KU) – Praktik korupsi akan sulit diberantas di Indonesia bila kondisi struktural dan budaya yang masih permisif terhadap praktik korupsi. Ditambah, proses penegakan hukum bagi pelaku korupsi juga masih belum berjalan sebagaimana mestinya. Pendapat itu dikemukan oleh Pengamat Politik UGM Dr. Abdul Gaffar Karim, dalam sebuah diskusi di perpustakaan UGM. Diskusi yang dipandu anggota Fortakgama UGM, M. Adhisupo, juga menghadirkan psikolog UGM Hariyanto, M.Si.
Gaffar mengatakan, kondisi lingkungan budaya saat ini mendorong orang untuk melakukan korupsi. Pegawai atau pejabat dianggap berhasil jika bisa menumpuk harta kekayaannya dalam jumlah lebih banyak. Meski masyarakat tidak mau ambil tahu dari mana uang tersebut didapatkan.“Saat ini orang lebih senang menanyakan rumah dan mobil kamu sudah berapa? Sambil berpesan jangan lupa dizakatkan,†kata gaffar mencontohkan.
Struktur penggajian pegawai yang relatif masih kecil, mendorong korupsi terjadi dimana-mana. Mulai dari mark up hingga honor fiktif dilakukan untuk menguras anggaran. Berbeda dengan Negara yang sudah maju, imbuhnya, struktur penggajian yang jauh lebih besar kepada pegawai menyebabkan mereka tidak berpikir untuk mencari uang tambahan di luar gajinya. Gaffar mencontohkan, di Australia seorang peneliti bisa mendapatkan honor sebesar 75 % persen dari dana penelitiannya. Karena di negara tersebut, kinerja intelektual dibayar lebih mahal. Sementara di Indonesia, kinerja intelektual dibayar lebih kecil dibandingkan untuk pembelian alat.
“Kinerja intelektual dibayar kecil, kinerja alat lebih besar. Sehingga orang berpikir untuk korupsi,†ungkapnya.
Gaffar tidak sependapat jika korupsi dianggap lumrah terjadi di Negara berkembang. Sebab, merujuk pada Malaysia dan Brunai Darussalam terbukti bisa menekan praktik korupsi.
Drs.Hariyanto, M.Si., menuturkan praktik korupsi bisa dapat diberantas mulai dari pribadi masing-masing dan tidak membiarkan praktik korupsi terjadi di lingkungan kerjanya. “Harus mulai dari sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari sekarang,†kata Sentot, demikian ia akrab disapa.
Sentot menjelaskan mereka yang melakukan korupsi, umumnya memiliki kepribadian ganda (split personality). Meski melakukan korupsi, namun mereka juga tetap menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. “Bagi mereka, Tuhan itu ada di mesjid, pura atau di gereja. Mereka tetap sumbang uang ke mesjid, ke orang miskin, dan melaksanakan ibadah haji,†ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)