Penemuan situs candi pada bulan Desember silam di kampus terpadu Universitas Islam Indonesia (UII) menjadi kabar gembira bagi para Arkeolog. Namun keberadaan candi yang persis berada di lokasi pembangunan perpustakaan kampus memunculkan persoalan baru terkait pemanfaatan situs oleh pihak UII.
Kenyataan tersebut mendorong tiga mahasiswa UGM mengembangkan gagasan pengelolaan Candi yang bersifat humanis. Mereka adalah Ari Hendra Lukmana (Jurusan Arkeologi 2007), Ghifari Yuristiadhi (jurusan Ilmu Sejarah 2007), dan Qolbiyati Muthmainah (jurusan Teknik Arsitektur 2005).
“Karya tulis ini terinspirasi dari penemuan situs candi yang kemudian di berinama Candi Pustakasala. Penemuan ini tergolong unik karena merupakan kasus pertama yang terjadi dalam dunia Arkeologi Indonesia,†kata Ari di Kampus UGM baru-baru ini.
Seperti diketahui, kebanyakan candi ditemukan di area terbuka yang jauh dari pemukiman penduduk maupun tempat-tempat aktivitas umum. Karena lokasi penemuan yang berada di tengah fasilitas publik pengelolaannya pun menjadi polemik.
Tiga sekawan ini mencoba menawarkan solusi untuk pengelolaan candi di kawasan padat penduduk dengan memberikan sentuhan yang humanis pada candi. “Humanisasi disini adalah pengelolaan yang menekankan pada desakralitas candi sehingga bisa berbaur dengan bangunan-bangunan lainnya. Semisal candi ditemukan di kawasan pemukiman padat penduduk, rumah-rumah yang ada tidak perlu digusur, tetapi cukup disesuaikan dengan bangunan candi,†jelasnya Ari, asal Magelang.
Untuk Candi Pustakasala mereka merancang pembangunan perpustakaan yang menyatu dengan candi. Gedung perpustakaan dibuat di utara dan selatan candi. Antara bangunan dibuat jembatan penghubung yang berada di atas candi. “Dengan adanya jembatan tersebut memungkinkan mahasiswa yang beraktivitas di perpustakaan dapat melihat dan berinteraksi dengan candi,†imbuh Qolbiyati Muthmainah yang merupakan arsitek dalam tim ini.
Sementara untuk pembangunan perpustakaan yang mulanya dikonsep secara modern menurut Qolbi bisa dibangun dengan materi yang disesuaikan dengan candi yaitu dengan menggunakan batu alam.
Disebutkan Qolbi desain ini memang dirancang untuk membuka akses yang lebih besar bagi masyarakat untuk berinteraksi dengan candi. “Selama ini candi selalu diidentikan dengan pagar serta berjarak dari lingkungan sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan minimnya interaksi masyarakat dengan candi sehingga mengakibatkan situs candi semakin terpinggirkan,†urai gadis kelahiran Klaten, 27 November 1987 ini.
Minimnya interaksi masyarakat dengan candi semakin memperkuat kesan angker pada candi. Namun dengan diberikannya sentuhan yang humanis diharapkan mampu memupus kesan angker tersebut. “Humanisasi candi diharapkan mampu menepis kesan angker dan ahumanis yang selama ini melekat pada candi maupun situs-situs kepurbakalaan lainnya,†tuturnya.
Konsep humanisasi candi tersebut sukses menghantarkan ketiga mahasiswa UGM ini meraih medali emas dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) 2010 melalui Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Gagasan Tertulis (PKM-GT) di Bali, Juli lalu. (Humas UGM/Ika)