JOGJAKARTA (KU) – Konsultan geo-teknik lulusan teknik sipil UGM, Ir. Didiek Djarwadi,M.T., berhasil meraih gelar doktor setelah menemukan alat khusus untuk mendeteksi uji retak hidrolis bendungan urugan batu. Alat ini sengaja dibuat untuk membantu proses penelitiannya dalam mengamati tingkat keretakan di enam bendungan urugan di Indonesia. Diantaranya bendungan Batutegi di Lampung, Sermo di DIY, Kedungombo di Jateng, Wonorejo di jatim, Batu bulan dan Pelaparado di NTB.
“Alat ini saya buat khusus untuk penelitian saya. Sekarang saya hibahkan untuk laboratorium mekanika tanah fakultas Teknik. Alat ini baru pertama di buat di Indonesia,” kata Didiek usai melaksanakan ujian promosi memperoleh gelar doktor dirinya di fakutas Teknik UGM, Sabtu (21/8).
Pria kelahiran Ambarawa, Jateng, 24 Desember 1954 ini mengatakan, benda alat uji deteksi retak bendungan yang dibuat berbentuk silinder dengan lubang di tengah (hollow cylinder) dengan dimensi benda uji adalah tinggi 120 mm, diameter luar 104 mm, sedangkan diameter lubang di tengah benda uji 18 mm.
Dari hasil kerja alat tersebut, diketahui enam bendungan yang ia teliti untuk saat ini tidak mengalami keretakan hidrolis. Namun ia mengkhawatirkan apabila bendungan tersebut ditingkatkan ketinggiannya kemungkinan besar terjadi keretakan dan runtuh. Hal itu terkait pemilihan bahan timbunan inti dan desain bendungan. “Trend sekarang bendungan ditinggikan untuk mengumpulkan air sebanyaknya untuk listrik, makin tinggi tekanan air maka makin besar risiko retak hidrolis,” tandasnya.
Menurut lulusan Doktor UGM ke-1259 ini, hampir semua jenis bendungan yang ada di Indonesia merupakan tipe bendungan urugan. Bendungan ini dibuat dengan menimbun tanah dan bebatuan. Tinggi bendungan dan konfigurasi inti bendungan urugan merupakan faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya retak hidrolis. Bahan timbunan inti bendungan yang dipadatkan pada sisi basah lebih tahan terhadap retak hidrolis dan mengurangi kemungkinan terjadinya retak hidrolis. “Bahan timbunan inti dengan kadar butiran halus lebih 60 % tidak mengalami terjadi retak hidrolis. Sedangkan butiran halus kurang 60 % mengalami retak hidrolis,” kata ahli bendungan ini.
Bapak dua anak ini menyampaikan tidak ada nilai ideal untuk ketinggian bendungan, karena bendungan dibuat berdasarkan karakteristik sungai, kemampuan suatu daerah menampung air. Tetapi, kecederungan membuat bendungan lebih tinggi dari tinggi aslinya menyebabkan terjadinya retak hidrolis dan meruntuhkn bendungan. Ia menyebutkan beberapa bendungan besar mengalami runtuh seperti bendungan Teton dan Yard Creek di Amerika Serikat, dan Balderhead di Inggris. Sedangkan bendungan Hyttejuvet dan Vidalsvatn di Norwegia mengalami bocoran besar karena kasus yang sama, namun bisa diselamatkan dari keruntuhan.
Dalam ujian promosi doktor kali ini, bertindak selaku promotor Prof. Dr. Ir. Kabul Basah Suryolelono, Dip.HE.,DEA.,ko-promotor Prof. Ir. Bambang Suhendro, M.Sc., Ph.D., dan Dr. Ir. Hary Christady Hardiyatmo, M.Eng., DEA. Sedangkan Tim penguji diantaranya Prof. Ir. Suryo Hapsoro, Ph.D., Prof. Ir. Masyhur Irsyam Adi, M.Sc., PhD., Dr. Ir. Ahmad Rifa’I, MT, Dr. Ir. I. Wayan Warmada, Ir. Agus darmawan, M.Sc., Ph.D (Humas UGM/Gusti Grehenson)