Yogya, KU
Negara tidak dapat melakukan pembiaran terjadap tindakan kekerasan yang menghalangi kebebasan beragama dan beribadat. Bentuk pembiaran terhadap tindakan kekerasan atau kelalaian yang disengaja dilakukan oleh negara dalam melindungi kebebasan beragama dan beribadat, merupakan salah satu bentuk pelanggran HAM yang paling serius dan tidak bisa ditoleransi.
Demikian diungkapkan oleh pengamat politik UGM Ari Dwipayana dalam Diskusi ‘Kebebasan Beragama’, Kamis (24/4) di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM.
Lebih lanjut dikatakan Ari Dwipayana, salah satu persoalan pelik dalam berbagai kebijakan negara terhadap komunitas agama adalah ketidakjelasan dan tumpang tindih kewenangan antar departemen yang ada. Akibatnya, bila terjadi persoalan terkait dengan isu agama dan komunitas agama, masing-masing departemen, terkesan saling melempar tanggung jawab dengan yang lainnya.
“Sebagian besar kebijakan ini bersifat diskriminatif dan interventif, dengan dibuat dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) antar departemen, sehingga perlu diatur kembali kewenangan masing-masing kementerian atau institusi pemerintah lainnya dengan mengacu pada Undang-Undang,†jelasnya
Sementara itu, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Hamim Ilyas, mengungkapkan bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) perlu disadarkan kembali karena telah mengeluarkan fatwa mengenai Ahmadiyah yang dinilai sesat dan haram ajarannya. Fatwa tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia yang menjamin adanya kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan.
“Jelas mereka harus disadarkan kembali. Sebab fatwa mereka mengenai Ahmadiyah bertentangan dengan UUD 1945 dan UU HAM,†kata Hamim.
Menurut Hamim Ilyas, selain disadarkan, MUI memang perlu ‘didemo’ karena menolak pluralisme dalam beragama dan berkeyakinan. Apalagi selama ini kegiatan mereka dibiayai oleh APBN/APBD. Dimana pembayar pajak dari APBN/D tersebut salah satunya berasal dari warga Ahmadiyah juga.
“Kalau mau menyesatkan jangan pakai APBN atau APBD dong. Yang bayar pajak ke APBN/D itu juga ada dari warga Ahmadiyah, sekuler, liberal dan warga umumnya juga. Wajar kalau yang ngomong itu seharusnya dari Muhammadiyah atau NU karena orang Ahmadiyah tak bayar pajak ke mereka to,†tegasnya.
Di sisi lain Hamim juga mengeluarkan hasil penelitian dari UIN Sunan kalijaga beberapa waktu lalu yang menegaskan bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI selama ini telah menyebabkan deintelektualitas kaum muslim. Dalam penelitian tersebut, disebutkan Fatwa MUI juga dinilai melakukan pembenaran bukan secara Qurani namun lebih secara teologis.(Humas UGM/Gusti Grehenson)