JOGJAKARTA (KU) – Keberpihakan terhadap masyarakat sipil dan kaum minoritas merupakan salah satu peran yang harus dijalankan Lembaga Penyiaran Publik untuk melaksanakan pendidikan publik. Kendati persoalan manajerial, kreativitas dan pendanaan tetap menjadi kendala utama lembaga penyiaran ini untuk bisa terus diminati masyarakat.
Demikian yang mengemuka dalam Sarasehan “Mengevaluasi Kinerja TVRI sebagai TV Publik” yang diselenggarakan Program studi S2 ilmu Komunikasi Fisipol, Senin (23/8) sore. Sarasehan yang berlangsung di ruang Presentasi D3 komunikasi, Fisipol, menghadirkan nara sumber Pakar Komunikasi UGM Ashadi Siregar, Pengelola TVRI Yogyakarta Wahyudi dan Pengamat media UGM I Gusti Ngurah Putra.
Ashadi mengatakan kehadiran lembaga penyiaran publik sesungguhnya berangkat dari kepedulian atas kondisi kemajemukan etnis, agama dan golongan di tengah masyarakat. Karenanya kualitas program yang ditayangkan juga harus berpihak kepada kaum minoritas. “Meliputi nilai-nilai kultural kemanusiaan dan keadilan, netralitas dan kebebasan, kecerdasan dan rasionalitas,” ujarnya.
Menyinggung kebijakan finansial yang masih membebani media penyiaran publik, menurut Ashadi sangat tergantung pada proses politik untuk lobby ke DPR dan pemerintah agar dapatkan dana dari APBN/APBD. “Karena tidak adanya konsensus politik sebelumnya, tetap menjadi masalah bagi media penyiaran publik,” imbuhnya.
Untuk mendapatkan iuran publik dan sumbangan masyarakat, TVRI juga masih terkendala stigma masa lalu. Padahal media penyiaran publik saat ini harus bebas dari intervensi rezim. “Di era reformasi, rezim tidak boleh lagi mengarahkan dan mempengaruhi opini publik,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh I Gusti Ngurah. Ia berpendapat, persoalan dana jadi masalah utama bagi TVRI sebagai TV Publik. Adapun rencana TVRI untuk mengusahakan dana sebesar 1,3 triliun melalui APBN tahun 2011 kemungkinan bisa terealisasi asal dibarengi dengan kualitas kinerja yang bisa dijadikan tolak ukur sebagai alasan kepada DPR dan Pemerintah agar dana itu pantas dikucurkan. Seperti diketahui, tahun ini, TVRI hanya mengelola dana sebesar 573 milyar. “Untuk memperoleh anggaran yang besar, TVRI harus punya argumen terkait laporan kinerja sebagai tolak ukur pemerintah dan DPR,” katanya.
Selain sudah memiliki jangkauan luas, kata Ngurah, TVRI disarankan juga harus menghitung jumlah audience share yang menikmati program acaranya. Penelitian audience share tersebut menurut Ngurah tidak untuk kepentingan iklan namun untuk justifikasi bahwa lembaga penyiaran ini layak dibiayai publik.
Sementara Wahyudi menyampaikan, 70 persen dana operasional TVRI saat ini berasal dari pemerintah. Dari dana tersebut, 90 persen digunakan untuk menggaji ribuan pegawai. “Makanya untuk berpikir membuat program yang lebih baik cukup sulit,” ujarnya.
Selain itu, TVRI juga sering menghadapi permasalahan konsolidasi internal dengan adanya perubahan status lembaga tersebut dari sebelumnya sebagai TV pemerintah (1962), lalu berganti Perusahaan Jawatan (Perjan) tahun 2000, Perusahaan Umum (Perum) tahun 2002, dan terakhir menjadi TV Penyiaran Publik sejak tahun 2005. (Humas UGM/Gusti Grehenson)