Dalam perkembangan kesusastraan Indonesia mutakhir ada fenomena yang menarik dengan terbitnya sejumlah karya fiksi Seno Gumira Ajidarma, yang mengangkat peristiwa faktual ke dalamnya. Lewat penuturannya dalam buku yang berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno Gumira Ajidarma (SGA) ingin menyampaikan kebenaran suatu peristiwa melalui karya sastra ketika media jurnalistik gagal karena terbentur penyensoran.
Secara konsisten, pengarang yang juga seorang wartawan ini mengungkapkan peristiwa-peristiwa sosial politik ke dalam karya-karyanya seperti pembunuhan misterius terhadap para gali pada tahun 1980-an, insiden di Dili pada tahun 1991, pembunuhan ala ninja 1997, peristiwa Mei 1998, hingga peperangan di Aceh. “Semuanya bernuansakan kekerasan. Hal-hal yang dalam dominannya pemerintahan Orde Baru tidak akan bisa diberikan sebagai karya jurnalistik, akhirnya mempergunakan wahana sastra untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa tersebut,” ujar Nurhadi, S.Pd., M.Hum, Rabu (25/8) di Gedung R.M. Margono Djojohadikusumo FIB UGM.
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta mengatakan hal itu saat melaksanakan ujian terbuka Program Dontor UGM Bidang Ilmu Sastra. Mempertahankan desertasi “Aspek Kekerasan sebagai Refleksi Kondisi Sosial Politik dalam Karya-karya Fiksi Seno Gumira Ajidarma (1988-2005)”, promovendus menguraikan bahwa dalam sejumlah karyanya, Seno Gumira Ajidarma banyak menceritakan peristiwa-peristiwa kekerasan. Meski begitu intensinya tidak berhenti untuk membuat sensasi kisah-kisah karya fiksinya dengan deskripsi kekerasan, bahwa pesan moral yang ingin disampaikan lewat karya-karya fiksinya malah berkebalikan dengan peristiwa kekerasan yang dikisahkannya. “Karya-karya fiksi Seno sebenarnya mempertanyakan legitimasi tindak kekerasan yang dilakukan negara terhadap warganya. Karya-karyanya dalam katagori Belsey termasuk teks interogatif, teks yang justru mengundang pembaca untuk memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam teks itu,” ujar pria kelahiran Kendaldoyong Pekalongan, 7 Juli 1970 ini.
Sebagai pengarang (penulis), kata Nurhadi, SGA mengalami sejumlah pelarangan dan juga hidup dalam dunia yang penuh dengan tindak kekerasan negara. Saat menjadi redaktur majalah Jakarta-Jakarta dan memberitakan peristiwa-peristiwa terkait insiden Dili tahun 1991, iapun menerima sejumlah pelarangan mulai dari self-censhorship, pemanggilan ke kantor militer hingga pemecatan dari kursi dewan redaktur. “Dengan sejumlah pelarangan inilah, dia megalihkan penyampaian peristiwa tersebut dari karya jurnalisme menjadi karya fiksi, cerpen dan novel. ‘Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara’ telah menjadi kredo baginya sebagaimana ia ungkapkan dalam bukunya yang berjudul sama,” papar suami Dian Swandayani, M.Hum.
Sebagai pengarang utama yang karya-karyanya diakui pemerintah, SGA tidak selamanya patuh terhadap pemerintah Orde Baru. Dengan menampilkan peristiwa-peristiwa sosial tersebut ke dalam bentuk karya fiksi, SGA tetap menampilkan peristiwa yang dilarang untuk diberitakan sebagai bentuk penyampai kebenaran. “Inilah salah satu bentuk resistensinya terhadap pemerintahan Soeharto atau Orde Baru yang dianggapnya bersifat otoriter atau totaliter. Karya-karya fiksinya turut membentuk citra pemerintah Orde Baru yang otoriter itu, selain itu karya-karya fiksinya turut membentuk komunitas pembaca akan pencitraan tersebut,” tukasnya. (Humas UGM/ Agung)