Kerusakan lingkungan merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam hal mengatur sumberdaya alam. Kesalahan kebijakan pada masa Orde Baru dengan memberikan lisensi pada perusahaan swasta untuk “melakukan penebangan legal†dinilai menjadi penyebab utama kerusakan ekologis itu.
Menurut Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc, kesalahan tersebut karena institusi kehutanan dan tambang telah membangun kebijakan atas dasar “demokrasi janggutâ€, yaitu sebuah pengambilan keputusan yang tidak berdasar kedaulatan rakyat melainkan berdasar “kapitalisme perkoncoanâ€, dimana konsesi-konsesi hutan dan tambang tak satupun diserahkan kepada kelompok masyarakat desa, masyarakat adat ataupun masyarakat lokal. Bahwa kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam ditentukan dari atas dengan dasar KKN.
“Dan tafsir atas sumberdaya alam dikuasai negara telah ‘diplesetkan’ menjadi ‘dimiliki’ rejim penguasa. Demokrasi janggut atau ‘demokrasi wayang’ ini telah menyebabkan kerusakan ekologis yang hingga kini kita rasakan,†ucapnya, Kamis (24/4) di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM saat berlangsung Seminar Bulanan bertajuk “Mengukur Demokrasi Indonesia: Politik, Ekonomi, dan Ekologiâ€.
Untuk memperbaikinya, kata San Afri, perlu dilakukan tindakan demokrasi ekologi. Yaitu negara melakukan tindakan keadilan dalam pembagian pemanfaatan sumberdaya alam (hutan, tambang, laut, lahan pertanian dll).
“Tidak hanya pengusaha dan BUMN yang berhak memanfaatkan sumberdaya alam, namun dalam porsi yang sama mestinya dapat dimanfaatkan secara langsung oleh satuan komunitas masyarakat dan organisasi rakyat yang relevan,†tambah dosen Fakultas Kehutanan UGM ini.
Selain itu, kebijakan ekologis semestinya selalu bersifat deliberative, partisipatif dan subtansial. Dari situ, perlu dikembangkan etika lingkungan berbasis pada “kearifan lokal†dan “nilai adat budaya setempatâ€.
Lebih lanjut, katanya, untuk perbaiki kondisi ekologi yang rusak, dapat pula melalui tindakan menghilangkan semangat eksploitatif, dan mengembangkan semangat ekologis. Yaitu menyeimbangkan produksi, konservasi dan perlindungan sumberdaya alam.
“Semestinya memberi sangsi tegas kepada perusak ekologi. Membangun sistim pengawasan, monitoring dan evaluasi secara berkala dan bertanggungjawab sebagai bentuk pertanggungjawaban publik,†tandasnya. (Humas UGM)