YOGYAKARTA-Pasca mudik lebaran fenomena urbanisasi di beberapa kota besar seperti Jakarta tidak bisa dihindarkan. Masyarakat pedesaan berbondong-bondong berangkat ke kota besar untuk sekadar mengadu nasib dan mencari penghidupan yang lebih baik. Pemerintah kemudian melakukan beberapa antisipasi seperti melakukan razia bagi penduduk yang tidak ber-KTP maupun memiliki KTP dari luar kota tujuan. Sayangnya, langkah tersebut dinilai tidak akan banyak bermanfaat.
“ Sia-sia lah kalau hanya merazia KTP seperti saat ini. Para pemakai jasa tenaga kerja di ibukota seperti Jakarta sudah tidak lagi memperhitungkan soal itu,†ujar pengamat yang juga Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM Prof Dr Muhadjir Muhammad Darwin, MPA, Kamis (16/9).
Dalam pandangan Muhadjir, fenomena mudik serta urbanisasi pasca lebaran memang sulit dihindari. Apalagi selama nilai-nilai sosial masyarakat tentang mudik tidak berubah seperti sekarang ini. Masyarakat masih memandang mudik merupakan hal yang “wajib†sehingga menimbulkan semacam beban cultural (ongkos budaya) seperti yang biasa ditemui dalam kehidupan masyarakat Jawa.
“ Di Jawa ada kegiatan memberikan sumbangan kepada warga yang tengah mempunyai hajatan. Padahal itu tidak wajib. Tidak ada aturannya. Tapi kalau orang tidak menjalankan maka akan kena sanksi sosial,†imbuhnya.
Masyarakat yang tidak mudik seringkali dipandang sebelah mata oleh keluarga atau masyarakat dimana ia berasal. Padahal saat ini sudah ada teknologi yang bisa menggantikan mudik seperti fasilitas telepon, SMS, surat maupun internet. Meskipun demikian mereka masih saja rela berdesak-desakkan, macet atau antri tiket untuk bisa mudik ke kampung halaman.
“ Budaya lisan dan temu muka itu yang tak bisa digantikan. Meskipun di sebagian masyarakat sudah ada sedikit perubahan pola pandang soal mudik yang bisa digantikan dengan teknologi tadi,†kata Muhadjir.
Kemajuan teknologi tersebut imbuhnya memang tidak bisa langsung menggantikan fenomena mudik. Keberadaannya hanya bisa untuk melengkapi mudik. Di sisi lain mudik terjadi karena masyarakat yang telah lama tinggal atau merantau di kota besar membutuhkan semacam “rekreasi culturalâ€.
“ Rekreasi cultural tetap diperlukan bagi mereka meskipun sudah ada modernisasi dsb,†ungkap doktor administrasi publik lulusan University of Southern California, Los Angeles, AS itu.
Urbanisasi sekaligus menunjukkan adanya kegagalan pemerintah dalam pemerataan pembangunan di kota dan desa sehingga menjadi PR tersendiri untuk bisa segera dicarikan solusi. Selain itu dari sisi public transport (transportasi massal) pemerintah juga gagal karena masih saja terjadi masyarakat yang tidak kebagian tiket kereta api. Tidak sedikit pula masyarakat yang justru mudik dengan menggunakan motor.
“ Ya gagal karena banyak yang pakai motor bukan dengan alat transportasi massal seperti kereta. Anehnya pemerintah tidak mengutamakan perbaikan rel kereta api tapi justru perbaikan jalan tol,†katanya.
Meskipun fenomena mudik dan urbanisasi tidak bisa dihindarkan sebelumnya Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan sempat mengatakan bahwa jumlah penduduk yang berpindah ke kota (urbanisasi) terutama Jakarta pasca lebaran tidak akan sebesar seperti perkiraan.
.”Saya kira tidak akan terlalu besar, hidup di Jakarta kan juga perlu perhitungan cermat,” kata Rusman.
Menurut dia, himbauan agar pemudik lebaran tidak kembali ke Jakarta dengan membawa teman-temannya, tidak akan efektif mengerem keinginan orang datang ke kota-kota. Menurut dia, karena sifatnya yang terbuka, orang dapat setiap saat masuk atau datang ke kota sehingga pemerintah daerah tidak perlu terlalu mengekspos masalah itu seperti dengan operasi yustisi (Humas UGM/Satria)