Limbah pasar selama ini hanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Namun, di tangan dua mahasiswa UGM, sampah yang bagi kebanyakan orang menjadi hal yang meresahkan dimanfaatkan menjadi sesuatu yang lebih berdaya guna. Adhita Sri Prabakusuma (Fakultas Pertanian) dan Adi Trimulyo (Fakultas Teknologi Pertanian) mengolah limbah buah dari Pasar Gemah Ripah Gamping menjadi bioethanol dan pupuk organik, yang mereka sebut dengan “bioetanik”.
Adi Trimulyo menuturkan pemanfaatan limbah buah menjadi bioetanik berawal dari keprihatinannya akan sampah buah di Pasar Gemah Ripah Gamping yang cukup banyak dan hanya dibuang begitu saja. “Sampah yang ada kurang begitu dimanfaatkan oleh pedagang dan masyarakat sekitarnya. Jika tidak segera diolah, bisa menggangu kesehatan dan lingkungan,†terangnya di Fakutas Teknologi Pertanian, Senin (20/9).
Disampaikan Adi, limbah yang dihasilkan Pasar Gemah Ripah tergolong cukup besar mencapai 5 ton/hari. Dari keseluruhan sampah pasar, 90% berupa sampah organik dan 10% sampah anorganik. “Dari 90% sampah organik, 80%-nya berupa sampah buah. Sisanya berupa daun, kayu, maupun jerami,†jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan Adi, buah-buahan berpotensi untuk diolah menjadi bioetanol karena memiliki kadar gula yang tinggi, kisaran 70 hingga 90 persen. Dari 10 kg sampah buah bisa diperoleh 1.500-2.000 mililiter bioetanol, sementara sisanya berupa ampas yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Ditambahkan Adhita Sri Prabakusuma bahwa hingga saat ini produk yang dihasilkan baru diaplikasikan dalam skala kecil, yakni diterapkan di Dusun Ledok Nongko, Turi, Sleman. “Bioetanik ini masih berupa prototipe. Jadi, baru diaplikasikan di Dusun Ledok Nongko, daerah Turi, mulai bulan Maret silam,†jelas mahasiswa Jurusan Budidaya Pertanian ini.
Adhita menyebutkan bioetanol yang dihasilkan dapat digunakan untuk bahan bakar kompor gas. “ Bioetanol dari limbah buah ini bisa digunakan untuk bahan bakar kompor gas. Namun, untuk bahan bakar kendaraan bermotor bioetanol ini belum kompatibel karena kadarnya masih 70%, padahal untuk bahan bakar kendaraan bermotor kadar bioetanolnya harus mencapai 95% dan itu pun dikombinasikan dengan gasoline sekitar 10-15%,†urainya.
Pengembangan teknologi bioetanik berbahan sampah pasar buah diharapkan Adhita mampu menjadi bahan bakar alternatif dalam upaya mengatasi permasalahan krisis energi dewasa ini. Selain itu, diharapkan pula dapat mengurangi emisi gas buang kendaraan bermotor yang bisa merusak lapisan ozon. “Secara teori bioetanol dari limbah buah memang bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Akan tetapi, masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui secara pasti hasilnya,†kata Adhita.
Pengembangan teknologi beioetanik oleh dua mahasiswa muda ini selain menawarkan bahan bakar alternatif dan mampu mengatasi permasalahan lingkungan, juga berhasil menjuarai lomba pengembangan teknologi yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Sleman pada Agustus lalu. Proposal yang diajukan terpilih sebagai juara II. “Kami tidak mengira kalau akan meraih juara sebab kebanyakan finalis adalah dosen dan guru. Menang memang menjadi suatu kebanggaan, tapi tujuan utama kami sebenarnya adalah ingin memperkenalkan hasil penelitian kepada masyarakat secara luas serta mengobarkan semangat sosioteknopreneur,†ujar keduanya mengakhiri perbincangan. (Humas UGM/Ika)