Kasus kematian akibat AIDS masih tetap tinggi. Penggunaan terapi HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy) dalam kenyataannya belum mampu menurunkan angka kesakitan karena HIV dan kematian akibat AIDS.
Penderita HIV dan AIDS sesungguhnya menghadapi situasi yang kompleks. Selain menghadapi penyakitnya sendiri, ia juga harus menghadapi diskriminasi dan stigma dari keluarga dan masyarakat.
“Situasi kompleks ini berdampak pada kondisi sakitnya. Terapi antiretroviral saja nampaknya belum cukup, sehingga diperlukan terapi komprehensif untuk dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Terapi komprehesif dipilih, karena dari segi medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial dan psikoterapi dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pasien HIV & AIDS,†ujar Nurlaila Effendy, S.Psi, M.Si, Jum’at (25/4) di Fakultas Psikologi UGM.
Direktur IMOGENA operasional Surabaya & Bali, menyampaikan hal itu, saat melaksanakan ujian terbuka program doktor Bidang Ilmu Psikologi. Promovenda mempertahankan desertasi “Pengaruh Psikoterapi Transpersonal Terhadap Kualitas Hidup Pasien HIV & AIDS†dengan promotor Prof. Johana E. Prawitasari, Ph.D dan ko-promotor Prof. Th. Dicky Hastjarjo, Ph.D.
Psikoterapi yang dipergunakan adalah psikoterapi Transpersonal dengan kombinasi visualisasi, meditasi dan pujian sesuai latar belakang kondisi pasien HIV & AIDS. Menurut Nurlaila, psikoterapi transpersonal melakukan integrasi raga (fisik & biologi), mental, jiwa, dan spirit melalui transformasi kesadaran, sehingga terjadi keharmonisan atau keselarasan.
“Daya tahan tubuh penderita HIV dan AIDS sangat rentan jika mengalami gangguan psikis atau mentalnya, sehingga perlu meningkatkan kualitas hidupnya. Kondisi ini sangat diperlukan terutama pasien HIV untuk mencegah progresivitas HIV ke AIDS maupun meningkatkan kualitas hidupnya sehingga dapat produktif dan berperan seperti layaknya orang sehat,†jelas perempuan kelahiran Semarang, 2 Februari 1966 ini.
Kata Nurlaila, sumbangan terbesar penggunaan psikoterapi transpersonal adalah terhadap kenaikan aktivitas fisik pada subjek stadium II & III. Bahwa secara medis terjadi perubahan perawatan, dan menjadikan mereka mandiri dalam melakukan aktivitas.
Perbaikan aktivitas fisik ini berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas. Mereka mampu melakukan aktivitas, dan secara finansial tidak bergantung kepada orang lain.
Secara efektif, psikoterapi transpersonal berhasil menurunkan kecemasan pada seluruh subjek penelitian. Bahwa mereka fokus pada keadaan sekarang dengan melakukan aktivitas produktif, dan tidak fokus lagi pada kematian akibat progresivitas penyakit maupun kekhawatiran masa depannya.
“Psikoterapi transpersonal efektif menurunkan stres seluruh subjek penelitian. Mereka dapat lebih baik menghadapi penyakitnya, diskriminasi maupun stigma dari keluarga dan masyarakat,†terangnya.
Terapi Transpersonal bermanfaat dilakukan diawal diagnosis HIV, setelah pasca konseling VCT. Untuk itu, katanya, berbagai materi transpersonal harus dikuasai, baik secara teoritis maupu praktis.
Bagi terapis yang berminat dapat mempelajari modul psikoterapi transpersonal, sehingga dapat membantu pasien HIV dan AIDS lebih banyak lagi,†tukas Nurlaila yang pernah mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Swasta di jakarta dan Surabaya ini. (Humas UGM)