YOGYAKARTA-Izin bagi peneliti asing untuk melakukan penelitian di Indonesia dinilai masih berbelit-belit, tidak ada standardisasi, dan memakan waktu yang lama. Meskipun telah terjadi perubahan rezim politik di Indonesia, masih ada kesan pada peneliti asing bahwa birokrasi di Indonesia lebih mengedepankan kecurigaan politis daripada kepercayaan akademik dalam proses pemberian izin. “Kondisi itulah yang menyebabkan turunnya minat mahasiswa maupun peneliti asing untuk melakukan penelitian di Indonesia,†kata Guru Besar Jurusan Sejarah UGM, Prof. Dr. Bambang Purwanto, M.A., dalam acara Sosialisasi Prosedur Pemberian Izin Kegiatan Penelitian bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Litbang Asing, Badan Usaha Asing, dan Orang Asing di Indonesia.
Acara yang berlangsung di Ruang Multimedia UGM, Rabu (22/9), dan merupakan kerja sama antara Kementerian Riset dan Teknologi dengan Kantor Urusan Internasional (KUI) UGM ini dihadiri oleh perwakilan dari fakultas, pusat studi, Kesbanglinmas, dan beberapa perguruan tinggi di DIY.
Bambang menambahkan akibat penilaian sistem birokrasi perizinan di Indonesia yang masih rumit tersebut menyebabkan turunnya minat mahasiswa dan sarjana bidang ilmu sosial humaniora di hampir seluruh perguruan tinggi di dunia untuk melakukan penelitian tentang Indonesia.
Sebagian besar mahasiswa yang melakukan penelitian tentang Indonesia di universitas luar negeri adalah orang Indonesia yang sedang belajar di sana. “Beberapa pusat pengkajian yang sebelumnya memfokuskan diri pada Indonesia telah tutup atau diubah ruang lingkupnya mencakup wilayah yang lebih luas,†katanya.
Sayangnya pula, tidak ada ketentuan jelas yang membedakan antara penelitian yang dilakukan berdasarkan MOU antar perguruan tinggi atau penelitian bersama dalam kerja sama setara antarpeneliti pribadi dengan penelitian lepas yang merupakan proyek pribadi seorang peneliti, baik sebagai bagian untuk mendapat gelar atau bukan.
Untuk itu, dalam kesempatan itu Bambang berharap pemberian izin penelitian seharusnya dilakukan sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan untuk mempromosikan Indonesia. “Kerja sama penelitian resmi berdasar MOU dan memberi manfaat langsung pengembangan SDM Indonesia harusnya diprioritaskan,†harap Bambang.
Sementara itu di tempat yang sama, Kasubdit Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Ditjen Kesbangpol RI Kemendagri, Drs. Bejo Santosa, mengakui masih banyak peneliti asing yang melakukan kegiatan di luar izin yang diberikan oleh pemerintah. Selain itu, tidak semua peneliti asing yang akan melakukan penelitiannya di Indonesia memproses izinnya melalui Kementerian Negara Riset dan Teknologi sehingga banyak peneliti asing yang tidak terdata dengan baik. “Di samping itu, kenyataan di lapangan juga menunjukkan para peneliti asing setelah selesai meneliti tidak menyerahkan tentative final report kepada kepala daerah,†terang Bejo.
Ia menambahkan kondisi ini masih saja terjadi meskipun telah ada koordinasi antarinstansi terkait, seperti Kementerian Dalam Negeri, Ditjen Migrasi, Deplu, Kemenristek, Kemennaker, Polri, dan Setneg. Jika hal tersebut terus terjadi, ditakutkan akan berdampak buruk terhadap kondisi politik hingga ketahanan bangsa dan negara. “Tugas kita memang ikut memfasilitasi, tapi kalau masih saja kecolongan takutnya akan berdampak buruk terhadap kondisi politik maupun ketahanan bangsa,†katanya.
Di sisi lain, Kepala Biro Hukum dan Humas Sekretaris Kementerian Riset dan Teknologi, Dr. Ir. Anny Sulaswaty, M.Eng., mengatakan penelitian orang asing ke Indonesia harus dapat memberi manfaat bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, perlu pengaturan perizinan bagi peneliti asing yang telah diatur lengkap dalam PP Nomor 41/2006 tentang Perizinan Kegiatan Penelitian dan Pengembangan bagi Perguruan Tinggi Asing, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Asing, Badan Usaha dan Orang Asing. “Penelitian lintas negara itu semakin banyak termasuk yang berminat meneliti di Indonesia, maka kita harus atur dan tata agar tertib serta bisa bermanfaat bagi bangsa,†kata Anny.
Untuk menata kegiatan penelitian asing ini, seluruh persyaratan dan aplikasi riset ditangani oleh Kementerian Riset dan Teknologi dengan melibatkan banyak tim, seperti Kemenlu, Kemendagri, BIN, TNI, dan Ditjen HAKI. Pemberian izin, pemantauan hingga pemberian sanksi bagi peneliti asing yang melanggar aturan, seperti meneliti bukan seperti yang tertera dalam proposal/rencana awal, dilakukan melalui koordinasi tim tersebut. “Tidak bisa kita hanya sendiri, tapi melibatkan banyak tim tadi,” imbuhnya.
Dalam paparannya, Anny menyebutkan jumlah Surat Izin Peneliti (SIP) dari bulan Januari-Agustus 2010 lalu mencapai 350 orang/pihak, dengan beberapa negara asal peneliti asing, seperti Jepang, AS, Jerman, Belanda, Inggris, Australia, China, dan Italia (Humas UGM/Satria)