Kekerasan suami terhadap istri pada masa hamil-nifas dari tahun ke tahun semakin meningkat. Bentuk-bentuk kekerasan yang sering dialami, seperti kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi, berdampak pada kesehatan reproduksi istri.
Rosmala Nur, S.Pd., M.Si., dosen Kopertis Wilayah IX yang diperbantukan di Universitas Muhammadiyah Palu, menyebutkan tidak terpenuhinya kebutuhan suami semasa istri hamil dan nifas merupakan penyebab utama yang mempengaruhi tindakan kekerasan suami. “Pada masa-masa ini, kondisi individual istri secara fisik maupun psikologis serta seksual dalam keadaan lemah sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan maupun keinginan suami secara maksimal. Tidak bertemunya antara keinginan suami dengan realitas fisik istri yang lemah sangat memungkinkan terjadinya tindak kekerasan ini.,†kata Rosmala saat menempuh ujian promosi doktor pada Prodi Kependudukan, Jumat (24/9), di Sekolah Pascasarjana UGM.
Rosmala menyebutkan ketidakmampuan istri dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan suami merupakan wujud ekspresif rasa dominasi suami terhadap istri. Kekerasan timbul sebagai akibat dari struktur dominatif dan ketimpangan relasi suami-istri yang terekspresi mulai dari level kemasyarakatan hingga individual. “Kebanyakan wanita hanya menerima begitu saja perlakuan tidak adil dari suami. Padahal resistensi istri sangat dibutuhkan untuk menunjukkan bentuk tawar-menawar kekuasaan yang merupakan sistem di mana perempuan harus mulai mempertanyakan keabsahan citra dan realita yang dibangun untuknya, termasuk kepentingan kesehatan reproduksinya,†jelas wanita kelahiran Singa, 1 Juli 1972 ini.
Disampaikan Rosamala saat mempertahankan disertasi yang berjudul “Kekerasan Suami terhadap Istri pada Masa Hamil-Nifas & Dampaknya bagi Kesehatan Reproduksi Perempuan di Dua Desa Kabupaten Donggala Sulawesi Tengahâ€, kekerasan yang dialami saat hamil-nifas menimbulkan akibat yang berbeda-beda terhadap gangguan kesehatan reproduksi wanita. Perbedaan tersebut terkait dengan latar belakang sosial demografi yang menyangkut umur, tingkat pendidikan, jumlah anak, dan tempat tinggal. Setiap istri mempunyai ciri sosial demografi yang berbeda sehingga tingkat kerentanan dampak yang diperoleh menjadi berbeda pada setiap individu.
Lebih lanjut disampaikan istri Drs. Muh Rusydi H., M.Si. ini, dari hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sunju dan Kelurahan Tanjung Batu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, menunjukkan istri yang rentan mengalami komplikasi kehamilan ialah yang berusia di atas 35 tahun, berpendidikan rendah, jumlah anak yang banyak, dan tinggal di pedesaan. Sementara itu, istri yang rentan terhadap kehamilan yang tidak diinginkan adalah mereka yang berumur tua, berpendidikan tinggi, dan berdomisili di perkotaan. “Meskipun kekerasan yang dialami prevalensinya sedikit, tapi risiko untuk terpapar dampak cukup besar karena mereka merupakan kelompok yang rentan terkena dampak kekerasan,†jelasnya.
Menurut Rosmala, pola penanganan kekerasan terhadap perempuan hamil-nifas melalui kearifan lokal ‘pabisara ada’ di kedua daerah adalah pilihan alternatif yang dibutuhkan dan diinginkan korban di wilayah itu. Selain tempatnya yang dapat dijangkau karena berada di wilayah desa itu sendiri, dalam hal ini wanita tidak dibebani membayar biaya perkara saat melapor. Penyelesaian melalui pabisara ada juga tergolong lebih cepat, maksimal 24 jam setelah dilaporkan dewan adat pabisara ada. “Walaupun memiliki kekurangan, namun pelayanan yang cepat, murah, dan dapat dijangkau seluruh masyarakat desa tampaknya telah dimiliki pabisara ada. Pelayanan seperti ini belum ditemukan pada pelayanan lain, seperti melalui jalur hukum lewat RPK kepolisian,†terang Rosmala.
Ditambahkan Rosmala bahwa pola penanganan tindak kekerasan seyogianya memperhatikan faktor penyebab kekerasan yang berada pada setiap level, baik kemasyarakatan, komunitas, keluarga, maupun individu. Pada level kemasyarakatan perlu diadakan tinjauan ulang terhadap hukum, baik UU perkawinan, KUH pidana, maupun perdata. Hal ini perlu dilakukan agar lebih dapat memperhatikan kebutuhan suami dan istri secara seimbang. Pada level komunitas, diperlukan penguatan kapasitas dan pemberdayaan ekonomi perempuan. Sementara di tingkat mikro, dibutuhkan program aksi sosial untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pelaku tindak kekerasan. “Substansi sosialisasi meliputi peran suami, perawatan ibu hamil-nifas, kekerasan berbasis gender, dan dampak kekerasan pada masa hamil-nifas terhadap kesehatan ibu dan bayi,†kata doktor lulusan UGM ke-1267 yang meraih predikat cum laude ini. (Humas UGM/Ika)