Dalam perspektif perempuan migran, migrasi ke luar negeri tetap dipandang sebagai sarana mobilitas sosial yang efektif. Melalui migrasi, mereka membangun impian dan ingin dipandang sebagai orang sukses. Oleh karena itu, segala upaya akan dilakukan untuk mencapai tujuan ini meskipun harus meninggalkan nilai-nilai keluarga dan masyarakat.
Menurut staf pengajar Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Setiadi, S.Sos., M.Hum., temuan terpenting dari kasus migrasi ke luar negeri adalah meningkatnya pendapatan perempuan sebagai tenaga kerja dan pencari nafkah dalam keluarga. Kondisi tersebut telah meningkatkan rasa percaya diri perempuan dan posisi tawar menawar dalam keluarga dan rumah tangga. Namun, hal itu tidak terjadi dalam masyarakat. Secara individual, perempuan migran merasakan lebih memiliki otonomi dalam kehidupan dibandingkan dengan sebelum pergi ke luar negeri. Bahkan, beberapa keluarga migran mengalami perubahan-perubahan nilai cukup fundamental, misalnya penempatan posisi sosial suami tidak lagi sebagai sosok yang penting dalam keluarga.
Penelitian Setiadi membuktikan migrasi perempuan menjadi pendorong perubahan-perubahan nilai budaya sehingga nilai budaya dalam masyarakat tampak cukup dinamis. Dalam kajian ini, tampak jelas bahwa terjadinya perubahan pemaknaan atas fenomena migrasi, khususnya atas keberhasilan materi, merupakan determinan penting bagi dinamika otonomi perempuan migran kembali. “Migrasi perempuan ke luar negeri sebagai tenaga kerja telah membawa berbagai perubahan dan yang menarik perubahan tersebut terjadi tidak saja pada tingkatan material dan sosial. Namun, juga pada tataran nilai, baik pada diri perempuan migran kembali maupun pada pasangan dan masyarakat pada umumnya,” ujar Setiadi di Auditorium Margono Djojohadikusumo FIB UGM, Selasa (28/9), saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor Bidang Ilmu Antropologi.
Hasil penelitian terhadap kehidupan pribadi, rumah tangga, dan masyarakat pada perempuan migran yang kembali ke daerah terkait dengan dinamika otonomi serta peran akumulasi material menunjukkan adanya keterkaitan erat antara akumulasi material dengan kondisi-kondisi sosio-psikologis perempuan, terutama tentang sikap percaya diri dan tingkat keotonomian terhadap kehidupan pribadi serta peran dan status perempuan dalam rumah tangga. “Namun, kondisi tersebut tidak muncul dalam tataran kehidupan masyarakat. Kemajuan pada kualitas diri migran dan peran status dalam kehidupan rumah tangga dapat terjadi karena migrasi perempuan ternyata memunculkan pemaknaan baru tentang migrasi dan berbagai dampak positifnya, khususnya terkait dengan aspek material,” terang pria kelahiran 25 Mei 1970 ini.
Dalam disertasi “Dinamika Otonomi Perempuan Desa: Studi Antropologi Dampak Migrasi Internasional di Perdesaan Jawa”, Setiadi mengungkapkan dinamika otonomi perempuan migran dalam berbagai tingkatan dapat terjadi seiring dengan pergeseran-pergeseran pemaknaan sebagian besar masyarakat terkait dengan kedudukan materi dalam proses relasi sosial. Pergeseran yang dimaksud adalah kuatnya orientasi nilai material pada masyarakat sehingga menjadi nilai budaya yang cukup kuat, yang mendasari pola tindakan anggota-anggota keluarga migran. (Humas UGM/Agung)