Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Transtoto Handadhari, menyebutkan pemerintah kurang memberikan kepastian usaha kepada pengusaha hutan Indonesia dalam merealisasiskan penanaman. Hal tersebut mengakibatkan lambannya realisasi penanaman HTI. “Pemerintah kurang memberi kepastian usaha bagi pengusaha hutan sehingga memperlambat upaya pembangunan hutan tanaman,†katanya, Selasa (28/9), di Fakultas Kehutanan.
Menurut Transtoto, pemerintah seyogianya memberikan kepastian usaha, yakni dengan memberikan alokasi lahan untuk hutan tanam, menetapkan peraturan yang konsisten, dan adanya kepastian perlindungan usaha.
Ditambahkan Transtoto bahwa pembangunan hutan tanaman selama ini dituding sebagai penyebab deforestasi hutan. Hal ini menjadi kendala yang dihadapi dalam realisasi penanaman hutan tanaman. “Hutan tanaman kerap dicela sebagai penyebab deforestasi hutan, padahal konversi dilakukan terhadap hutan alam yang sudah rusak/tidak produktif lagi. Untuk itu, sebaiknya pemerintah mengkaji kembali zona hutan tanaman mana yang bisa dibangun dengan sistem silvikultur sehingga bebas konflik,†jelasnya di sela-sela diskusi pakar “Sistem Silvikultur Hutan Tanaman†di Fakultas Kehutanan UGM.
Transtoto mengatakan selama ini pembangunan hutan tanaman dipandang memiliki produktivitas yang rendah. Padahal, faktanya produksi kayu dari hutan tanaman terus meningkat dari 1 juta meter kubik pada tahun 1998 menjadi 21 juta meter kubik pada 2009. Sementara itu, produksi kayu dari hutan alam justru cenderung semakin mengalami kemerosotan, dari 16 juta meter kubik tahun 1998 menjadi 5 juta meter kubik pada tahun 2009.
Lebih lanjut disampaikan alumnus Fakultas Kehutanan UGM ini, hutan tanaman akan terus mengalami peningkatan produksi. Peningkatan penanaman dan produksi tersebut secara langsung akan memberikan multiplier effect yang signifikan, seperti menambah kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan, pertumbuhan industri, pertumbuhan ekspor, dan pendapatan pajak serta devisa. “Jadi, bisa dikatakan jika hutan tanaman adalah tulang punggung perekonomian nasional dan menjadi jaminan masa depan bangsa,†tambahnya.
Hutan tanaman, lanjutnya, juga berpotensi besar dalam perdagangan karbon. Hutan tanaman mampu menyerap karbon lima kali lebih besar dibandingkan dengan hutan lainnya. Potensi penyerapan karbon hutan tanaman sebesar 3,7 miliar ton CO2 atau setara dengan 1 miliar ton C (jenis akasia umur 10 tahun seluas 19,18 ha) dan 4,4 miliar ton CO2 atau setara 1,2 miliar ton C (setara dengan jenis pinus umur 11 tahun seluas 19,18 ha). “Melihat berbagai potensi dan kendala tersebut, sebaiknya pemerintah berupaya keras untuk mendorong pertumbuhan HTI agar pengelolaan hutan nasional semakin mandiri dan bisa menjadi mesin penggerak perekonomian nasional,†ujarnya.
Sementara itu, Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Dr. Ir. Bedjo Santosa, M.Si., menyampaikan pemerintah tetap berkomitmen memberikan dukungan usaha dan investasi pengembangan hutan tanaman. Wujud dari komitmen itu, antara lain, melalui penerbitan Inpres No. 1 Tahun 2010, yakni ketika pada tahun ini ditergetkan pengalokasian kawasan hutan produksi untuk izin baru HTI seluas 450 ribu hektar dan penambahan tanaman baru pada izin HTI yang sudah ada seluas 450 ribu hektar. (Humas UGM/Ika)