Babad Banyumas sebagai karya sastra dan budaya hingga saat ini jumlahnya mencapai 101 teks. Jumlah yang besar tersebut menunjukkan adanya dinamika masyarakat Banyumas dalam proses penciptaan kembali teks.
Menurut Drs. Sugeng Priyadi, M.Hum., staf pengajar Universitas Muhammadiyah Purwokerto, frekuensi penyaduran dan penerjemahan kembali Babad Banyumas yang cukup tinggi melahirkan versi dan variasi teks yang cukup beragam, bahkan memunculkan teks-teks baru. “Banyaknya versi tersebut disebabkan oleh penyalinan yang tidak hanya dilakukan secara vertikal, tapi juga secara horisontal. Para penyalin yang berdasar bekal bacaannya merasa bebas untuk memasukkan teks yang ditanggapinya sehingga terjadi kontaminasi teks,†jelasnya saat melaksanakan ujian terbuka Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora, Rabu (29/9), di Auditorium R.M. Margono Djojohadikusumo.
Hingga saat ini, penelitian tentang Babad Banyumas telah berhasil mengumpulkan 101 teks, meliputi 43 teks naskah, 38 teks ketikan, dan 20 teks cetakan. Teks tersebut telah diklasifikasikan menjadi 65 versi yang terdiri atas 56 versi gancaran dan 9 versi tembang.
Penelitian yang dilakukan pria kelahiran Makasar, 5 Maret 1965 ini menunjukkan adanya kedinamisan masyarakat Banyumas yang tampak pada penyalinan dan penulisan teks Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan. Kedinamisan itu dipengaruhi oleh kedinamisan kebudayaan masyarakat Banyumas melalui sistem nilai budaya Banyumas, sintesis nilai-nilai paradoksal Banyumas, dan tujuh unsur universal. “Ada tiga unsur yang menonjol di sini. Pertama, bahasa dialek Banyumas dengan ciri khas vokal ‘a’ sangat jelas. Berikutnya, wayang kulit gagarag Banyumas, dalang jemblung, lengger, gendhing banyumasan, serta lelagon lare sabagai kesenian berwarna lokal. Terakhir, sistem religi Banyumas terlihat pada tradisi pantangan, ramalan, dan tradisi Muludan,†terang suami Dini Siswani Mulia, S.Pi., M.Si. ini.
Dalam disertasinya yang berjudul “Dinamika Sosial Budaya Banyumas dalam Babad Banyumas Versi Wirjaatmadjanâ€, Sugeng Priyadi menyebutkan dalam sistem nilai budaya Banyumas dilandasi oleh cablaka yang menghasilkan nilai-nilai pradoksal/kontradiktif yang tercermin pada karakter tokoh-tokohnya. “Terdapat kecenderungan nilai-nilai yang dijunjung tampak paradoksal, tesis dihadapkan dengan antitesis yang menghasilkan sintesis,†jelasnya.
Sementara itu, orientasi nilai budaya Banyumas, kata bapak dua putra ini, berada pada posisi tradisional dan modern. Hal itu dapat dicermati pada pandangan masyarakat Banyumas terhadap makna hidup, kerja, persepsi terhadap waktu, relasi manusia dengan manusia dan alam. (Humas UGM/Ika)