Sejak beroperasinya bus Trans Jogja pada bulan Februari 2008, jumlah penumpang bus ini terus menunjukkan kenaikan, apalagi di masa liburan panjang seperti Idul Fitri, bus-bus tersebut selalu penuh dengan penumpang. Namun, perkembangan angkutan umum bus Trans Jogja tampaknya tidak mendapat dukungan dari aparat-aparat yang semestinya memberikan dukungan.
Menurut pandangan pakar lalu lintas UGM, Prof. Dr.-Ing. Ir. Ahmad Munawar, M.Sc., birokrasi menjadi kendala. Hal itu ditunjukkan dengan mangkraknya dua puluh bus baru Trans Jogja bantuan dari Kementerian Perhubungan. “Sudah hampir setahun mangkrak tidak dapat beroperasi karena kendala pengalihan plat nomor dari plat merah ke plat kuning. Padahal, untuk kota-kota lain, seperti Surakarta dan Pekanbaru, tidak menjadi masalah dan sudah beroperasi dengan baik. Sepertinya kepentingan umum dikalahkan oleh rumitnya birokrasi di Yogyakarta,” kata Ahmad Munawar di kampus UGM, Jumat (1/10).
Selain itu, belum munculnya kesadaran aparat di lapangan akan prioritas angkutan umum menjadikan angkutan umum perkotaan terkesan “disisihkan”. Di saat terjadi kemacetan di Jalan Malioboro, misalnya, dengan penerapan sistem buka-tutup, angkutan umum perkotaan, baik Trans Jogja maupun angkutan umum perkotaan lainnya semestinya dapat memperoleh prioritas untuk melewati. “Dengan begitu, para calon penumpang yang telah menunggu di halte-halte sepanjang Malioboro tidak kecewa, terlebih para penumpang yang berada di dalam bus, terpaksa harus berhenti jauh dari tujuannya,” tuturnya.
Ketua Tim Proyek HiLink ‘Keterpaduan Angkutan Umum Perkotaan Yogya dan Solo’ hasil kerja sama UGM, Dishubkominfo DIY, dan PT Gama Techno ini mengatakan uji coba ‘bus priority system’ yang dilakukan di simpang tiga Universitas Islam Negeri Yogyakarta beberapa waktu lalu terpaksa dihentikan karena dianggap “mengganggu lalu lintas”. Padahal, di negara-negara jiran, seperti Singapura dan Australia, sudah biasa menggunakan sistem semacam itu sejak belasan tahun yang lalu, yakni sistem prioritas yang mengubah secara otomatis sinyal lalu lintas menjadi hijau pada saat bus lewat. Dengan demikian, bus tidak pernah berhenti karena lampu merah pada saat mendekati simpang bersinyal. “Karenanya, kemacetan lalu lintas yang sudah mulai terasa di Yogyakarta tidak dapat diatasi dengan hanya mengatur arus lalu lintas di lapangan, namun harus dengan kebijakan demand management, terutama untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum. Ini dilakukan dengan memberikan prioritas-prioritas pada angkutan umum perkotaan Yogyakarta guna membuat angkutan umum lebih atraktif,” jelas dosen Manajemen Lalu Lintas, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan UGM ini.
Di Yogyakarta, kata Ahmad Munawar, sesungguhnya telah ada rencana-rencana lanjutan untuk memadukan angkutan umum perkotaan, yaitu Trans Jogja dengan kereta api Prameks dan Trans Batik Solo, bahkan telah mencapai tahap jadwal hingga tiket. “Namun sayang, karena masih terkendala birokrasi dan aparat belum memiliki kesadaran akan pentingnya prioritas angkutan umum, maka pengembangan angkutan umum perkotaan mengalami hambatan dan dikhawatirkan kemacetan di Yogyakata akan semakin parah,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)