Yogya, KU
Pakar Adminsitrasi Publik UGM Prof Dr Sofian Effendi mengusulkan segera dibentuknya Komisi Kepegawaian Negara dalam rangka melakukan reformasi sistem birokrasi yang selama ini dinilai kurang meperhatikan kesejahteraan aparatur negara.
“Tugas dari Komisi ini nantinya melakukan reformasi kepegawaian dalam hal merubah sistem pengajian dan sistem kepangkatan,†kata Sofian dalam Diskusi Policy Corner ‘Gaji Aparatur Negara’, Rabu (30/4) di Gedung Magister Studi Kebijakan UGM.
Dalam hal sistem penggajian, menurut Sofian sudah saatnya diubah dari sistem penggajian karir menjadi sistem penggajian position based system. Bila dalam sistem karir, pegawai akan mendapatkan gaji pokok, tunjangan fungsional dan honor maka dalam position-based system, gaji ditentukan berdasarkan jabatan yang diemban.
“Position based sytem, gaji dibayarkan atas besarnya tanggungjawab dari setiap jabatan. seperti yang berlaku di perusahaan swasta dan BUMN, gaji diberikan untuk setiap posisi atau jabatan seseorang dalam organisasi,†tambahnya.
Menuryut Sofian, position based system sebenarnya pernah diterapkan di Indonesia sebelum tahun 1976. Pada waktu itu dalam birokrasi pemerintah dikenal 1/k 2000 jabatan profesional. Sistem ini kemudian diganti dengan sistem karier yang menetapkan ada 17 skala gaji mulai Gol 1/a (Rp 912.600) sampai Gol IV/e (Rp 2.880.000). Skala ini, jelas Sofian, menentukan Gaji Pokok. Selain itu, sistem mengatur tentang jenjang jabatan.
Akibatnya, penerapan sistem karir telah menyebabkan kesenjangan yang sangat besar dalam sistem remunerasi (tunjangan) aparatur negara. Kesnjangan tersebut diantaranya, pertama, adanya kesenjangan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, kesenjangan antara departemen dan antara departemen dengan lembaga independen dan ketiga, kesenjangangan antara departemen dengan lembaga keuangan milik pemerintah.
“Remunerasi PNS selama ini tidak menjamin kehidupan layak, tidak memacu produktivitas dan tidak menjamin taraf hidup minimal pada masa pensiun, bahkan remunerasi juga tidak sesuai dengan beban tanggung jawab maupun pengakuan atas prestasi pegawai,†imbuh Sofian.
Sofian juga sempat menyinggung tentang jumlah premi dan pendapatan pensiun yang dinilainya sangat tidak efektif. karena gaji yang didapatkan seorang pensiunan Guru Besar dianalogikan sofian tidak cukup untuk membayar tagihan pulsa dan tagihan AC (pendingin ruangan).
Disebutkan Sofian, pensiun yang diterima selama ini hanya berdasarkan hasil iuran 4 persen dari gaji pokok yang dibayar pegawai selama masih aktif bekerja. Padahal, dalam Udang-Undang, sudah disebutkan uang pensiun merupakan tanggungjawab pegawai dan majikannya (pemerintah). Maka dari itu, Sofian menilai pemerintah telah lalai dalam tanggungjawabnya untuk membayar uang pensiun pegawai. Sedangan di luar negeri,Malaysia, iuran yang dibayar pegawai setiap bulannya sekitar 5 persen ditambah iuran dari pemerintah sekitar 8 persen dari gaji pokok.
“Tidak heran, seorang pensiunan Guru Besar di Malaysia mendapatkan gaji pensiun setengah dari gaji pokoknya atau sebesar 26 juta rupiah, sedangkan premi pensiun yang diterima sekitar 2,5 milyar. Berbeda halnya yang berlaku di Indonesia, seorang Guru besar hanya mendapatkan tunjangan 12 juta rupiah dengan gaji pensiun perbulan sekitar 1, 7 juta rupiah,†katanya.
Sofian kembali menghimbau agar pemerintah segera melaksanakan perubahan sistem penggajian pensiun yang sudah dilakukan di beberapa negara agar bisa memperbaiki penghasilan pensiunan. beberapa diantaranya perlu diadakan program pensiunan tambahan seperti tunjangan, insentif dan honor.
“Harapannya, sebelum sistem kepegawaian diubah menjadi sistem jabatan, perlu dikembangkan sistem pensiun tambahan. Selain itu perlu diadakan jaminan kesehatan suplemen,†pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)