YOGYAKARTA-Dua tahun terakhir luas serangan wereng batang padi coklat (WBPC) terus meningkat. Bahkan, pada pertengahan tahun 2010 dilaporkan telah mencapai hampir 100 ribu hektar. Disamping itu, luas serangan pada musim tanam 2010/2011 diperkirakan akan meningkat jika tidak ada aksi riil yang efektif untuk mengendalikan perkembangan populasi WBPC.
“ Diprediksi akan meningkat jika tidak ada tindakan riil yang efektif untuk mengendalikan perkembangan populasi WBPC,†ujar dosen Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM, Prof Dr Ir Y. Andi Trisyono, M.Sc, Jumat (1/10).
Padahal imbuh Andi, sebelum tahun 1970an, wereng batang padi cokelat (WBPC) bukan merupakan hama utama tanaman padi karena tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun mulai awal 1970 sampai pertengahan tahun 1980an, hama ini menjadi momok karena menyebabkan ratusan ribu hektar padi menjadi puso. Sejak saat itu WBPC menjadi hama penting pada tanaman padi.
“ Dulu memang bukan menjadi hama utama tapi setelah itu menjadi momok,†tambahnya.
Menurut Andi, setidaknya ada tiga factor yang mendorong atau berkontribusi terhadap meningkatnya populasi WBPC dan meluasnya serangan (termasuk puso) dalam dua tahun terakhir yaitu kemampuan biotic WBPC, kegiatan operasional yang dilakukan dalam budidaya tanaman padi, dan factor lingkungan yang kondusif.
WBPC mempunyai potensi biotic yang sangat tinggi dan diwujudkan dalam bentuk jumlah telur yang dihasilkan per betina sangat tinggi, daur hidup yang pendek 3-4 minggu, mampu hidup berkelompok (bisa ratusan ekor per rumpun), dan daya adaptasi tinggi terhadap berbagai tekanan baik karena penanaman varietas unggul tahan wereng (VUTW). Insektisida, musuh alami, maupun lingkungan makro dan mikro.
“ Berbagai atribut tersebut menjadi keuntungan bagi WBPC untuk menjaga kelangsungan hidupnya dengan terus berkembang biak,†papar Andi.
VUTW masih cukup banyak ditanam oleh petani, misalnya IR64 dan Membramo tetapi varietas lain yang tidak tahan terhadap WBPC (bukan VUTW) juga banyak ditanam di berbagai sentra produksi padi bahkan di daerah-daerah yang sudah diketahui sebagai daerah endemic. Varietas bukan VUTW ini pada umumnya adalah varietas local atau hibrida.
“ Padi hibrida yang banyak ditanam saat ini tidak mempunyai gen ketahanan terhadap WBPC. Varietas bukan VUTW tersebut tentu sangat disukai oleh semua biotipe WBPC,†imbuh doktor Entomologi dari Michigan State University tersebut.
Selain itu IR64 yang mempunyai gen ketahanan juga mati karena serangan WBPC ini. Hal itu kemungkinan disebabkan adanya pergeseran biotipe baru karena varietas ini telah diadopsi dalam jangka waktu yang lama. Indonesia memiliki pengalaman sebelumnya yang menunjukkan munculnya biotipe baru sehingga varietas IR sebelumnya (IR36, IR38) juga patah ketahanannya setelah ditanam secara terus menerus selama beberapa tahun.
“ Maka sangat mungkin kalau populasi WBPC yang ada saat ini di lapangan merupakan populasi yang telah mampu beradaptasi dan berkembang dengan memetahkan gen ketahanan yang ada di IR64,†paparnya.
Hasil penelitian lapangan yang telah dilakukan oleh Andi di beberapa daerah sentra penghasil padi seperti Klaten, Sukoharjo dan Klaten menunjukkan bahwa penggunaan insektisida yang tidak tepat menyebabkan berbagai dampak yang tidak diinginkan, seperti resistensi dan resurjensi. Di sisi lain, insektisida tertentu yang digunakan pada pertanaman padi mendorong terjadinya peningkatan keperidian betina WBPC.
“ Faktor resistensi, resurjensi, dan penanaman varietas padi bukan VUTW juga menjadi penyebab utama merebaknya serangan WBPC di China dan negara penghasil padi lainnya, bahkan di China telah mencapai > 1 juta ha,†kata Andi.
Belajar dari pengalaman sebelumnya dan juga apa yang terjadi di negara lain, kebijakan dan langkah konkrit perlu diambil dengan tidak ‘mengkambinghitamkan’ climate change sebagai penyebabnya, namun lebih menekankan misalnya pada penggunaan insektisida dan varietas bukan VUTW. Menanam padi secara bergilir atau selang-seling dengan tanaman atau varietas lain, serta penggunaan insektisida alami seperti dari daun Mimba dan biji Srikaya bisa dilakukan.
“ Dalam menyemprot insektisida juga harus tepat waktu karena bisa mematikan “insektisida†alami yang sudah ada seperti laba-laba, kepik dan parasitoid,†kata salah satu Ketua Komisi Perlindungan Tanaman tersebut.
Kita juga perlu mendukung kebijakan pemerintah yang telah ditempuh melalui payung hukum Inpres No 3 tahun 1986 dalam mengendalikan WBPC. Apalagi melalui kebijakan yang telah ditempuh ini terbukti bisa menurunkan secara drastis luas serangan WBPC sejak akhir tahun 1980an hingga sekitar tiga tahun yang lalu. Dalam kurun waktu itu serangan maupun puso hanya terjadi dalam spot-spot.
“ Kemampuan WBPC dalam beradaptasi dan berkembang biak dengan cepat merupakan kunci utama meningkatnya populasi secara tajam dan mendadak,†imbuh Andi.
Beberapa hal penting penting yang termuat dalam Inpres ini diantaranya pengendalian hama WBPC dengan prinsip pengelolaan hama terpadu (PHT), antara lain dengan varietas unggul tahan wereng (VUTW), lima puluh tujuh formulasi insektisida dilarang digunakan untuk pengendalian hama padi serta petugas lapangan dan petani perlu ditingkatkan kemampuannya dalam menerapkan PHT (Humas UGM/Satria)