YOGYAKARTA-Salah satu permasalahan gizi yang dapat muncul sebagai akibat rendahnya kualitas makanan yang dikonsumsi adalah stunting pada anak. Stunted (short stature) atau yang disebut tinggi badan per panjang badan terhadap umur yang rendah digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama. “Ada yang menetapkan short stature, yaitu apabila panjang badan atau tinggi badan menurut umur sesuai dengan jenis kelamin anak kurang dari 5 percentile standar,†ujar Prof. Hamam Hadi, M.S., Sc.D., Sp.GK, Ketua Program Studi Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran (FK)-UGM, di sela-sela persiapan Seminar Nasional Optimalisasi Potensi Anak Stunted di Indonesia, bertempat di Ghra Wiyata FK UGM, Jumat (1/10).
Dalam kesempatan tersebut, Hamam Hadi didampingi oleh beberapa panitia lain, yakni Dr. dr. Radjiman, Toto Sudargo, S.K.M., M.Kes., dan R. Dwi Budiningsari, S.P., M.Kes.
Anak yang pendek dapat disebabkan oleh asupan gizi yang buruk atau menderita penyakit infeksi berulang. Di Indonesia, lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah yang merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Sayangnya, penurunan jumlah anak yang mengalami stunted ini tidak terlalu signifikan setiap tahunnya. “Sebagai gambaran saja, untuk anak gizi kurang, tahun 2007 ada 18,4% dan tahun 2010, 17,9%, sedangkan yang stunting tahun 2007, 36,8%, dan tahun 2010 ini turun sedikit menjadi 35,6%,†terangnya.
Stunted merupakan manifestasi sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kurang gizi pada masa balita serta tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan yang sempurna pada masa berikutnya. Oleh sebab itu, tidak heran apabila pada usia sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Anak yang menderita stunting berat berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada fungsi kognitifnya.
Di Indonesia, dalam pandangan Hamam, anak balita yang mengalami stunted ini relatif tinggi dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Saat ini, India tercatat masih sebagai negara yang anak balitanya cukup tinggi mengalami stunted ini. Diakui Hamam, secara nasional angka penderita stunted secara nasional turun, tetapi di beberapa daerah justru mengalami peningkatan. “Di NTT, misalnya, di tahun 2007 mencapai 46,7%. Namun, tahun ini naik menjadi 61,4%. Ini menunjukkan pemerintah sebenarnya masih punya pekerjaan berat untuk segera mengatasi persoalan ini,†ujar Hamam.
Dari tahun ke tahun, permasalahan gizi di Indonesia memang tidak akan selesai penanganannya jika dilakukan secara parsial. Kemiskinan dan kelaparan telah menjadi salah satu agenda utama yang menjadi perhatian dunia saat ini, sebagaimana dikemukakan dalam kesepakatan global Millenium Development Goals (MDGs). MDG’s pada poin pertama menyebutkan di tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. “Selain itu, dua dari lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDG’s adalah menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi,†pungkas Hamam.
Seminar yang akan menghadirkan para ahli bidang gizi dan kesehatan tersebut akan melibatkan, antara lain, para petugas kesehatan di puskesmas dan rumah sakit, dosen bidang kedokteran dan kesehatan, pemerhati gizi, dan mahasiswa. (Humas UGM/Satria)