Berbagi Ilmu Melalui Usaha Budidaya Jamur Tiram
CIANJUR (KU) – Penampilannya tetap saja sederhana, tidak jauh berbeda saat ditemui Kabar UGM empat tahun lalu. Pria yang suka mengenakan kaos berkerah ini, Selasa (28/9), tampil rapi mengenakan batik. Secara kebetulan, hari itu ia harus menjemput Bupati Banyumas yang sengaja datang untuk mengunjungi lokasi usahanya. Sebelum menjemput sang Bupati, ia dengan setia meladeni tamu mahasiswa Magister Agribinis IPB yang sedang menulis tesis tentang usaha budidaya jamur miliknya. “Saya dah janjian dengan Pak Bupati, menjemput beliau di Bandung. Seharusnya jam 11 tadi, tapi saya undur soalnya masih ada tamu,” kata Triono.
Bukan kali ini saja Triono harus meladeni para pejabat yang sekadar meninjau lokasi kebun budidaya jamur miliknya. Akhir 2009 lalu, ia juga dikunjungi Menteri Pertanian Suswono. Bahkan, hampir tiap hari ia juga menerima kunjungan para siswa dan mahasiswa dari berbagai daerah. Tidak hanya itu, Triono juga menyelenggarakan pelatihan jamur bagi masyarakat yang berminat mengikuti jejaknya.
Ir. Triono Untung Piryadi adalah alumnus UGM yang sukses membudidayakan usaha jamur. Jamur tiramnya tidak hanya dijual di Cianjur, tetapi sudah dipasarkan di Jakarta, Bogor, dan sebagian Jawa Barat. Untuk bibitnya bahkan sudah dijual di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera.
Melalui CV Asah Agro Corporation (AAC) yang didirikannya sepuluh tahun lalu, kini omset usaha jamurnya telah mencapai 750 juta rupiah per bulan. Tiap hari, ia bisa menjual 1,5-2 ton jamur tiram dan 8 ribu bibit. Tiap satu kilo jamur dijual Rp7.000,00 dan harga satu bibit jamur ialah Rp1.400,00. Lokasi usahanya menempati areal seluas 3 hektar dengan mempekerjakan 85 karyawan. “Saya sudah memiliki 25 plasma yang tersebar di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Untuk jamurnya sendiri, hampir 60 persen ambil ke sini,” kata alumnus Fakultas Pertanian ini.
Nama AAC diambil Triono dari usaha jamurnya kala menjadi mahasiswa UGM dulu. “Saat masih kuliah, saya sudah mendirikan Asah Agro Corporation (AAC). Berkutat pada jamur, bareng teman-teman, kita kembangkan di daerah Godean. Sedangkan kebunnya di dekat Selokan Mataram dan lab-nya di Perumahan Banteng. Modal usahanya patungan dengan teman-teman. Hasil panennya berupa jamur tiram dan jamur merang saya jual ke pasar. AAC dulu anggotanya ada 6 orang, tapi menjelang saya lulus, usaha ini bubar,” kata lulusan UGM tahun 1991 ini.
Usaha Jamur Sejak Mahasiswa
Ketika kuliah, Triono sudah mengenal dunia jamur. Sebab, dia pernah menjadi asisten Prof. Dr. Ambarwati dalam meneliti tentang jamur. “Kita menumbuhkan jamur merang dalam media jamur tiram. Kebetulan beliau merupakan dosen pebimbing saya. Saya juga membantu jika ada orang yang ingin membeli jamur. Sambil membantu Bu Ambar, saya kadang-kadang menerima banyak pesanan dari mahasiswa pertanian kampus-kampus swasta. Sebagai asisten Bu Ambar, saya sering memperoleh kesempatan bicara tentang jamur,” kata lulusan SMAN 1 Probolinggo ini.
Tahun 1992, Triono melamar bekerja di CV Inti Mekar Sejati, Cianjur. Perusahaan ini merupakan perusahaan jamur terbesar di Asia Tenggara. Di sini, Triono meniti karir mulai dari bawah. Awalnya ia menjadi asisten supervisor. Berkat prestasi yang diraih, dalam waktu enam tahun, ia menjabat farm manager. Namun, Triono tidak betah bekerja di perusahaan tersebut. Pada 1999, ia memutuskan keluar dari CV Inti Mekar Sejati dan membuka usaha sendiri.
Triono memulai usaha jamurnya dari awal. Beruntung, jamur sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat Cianjur. Jamur tiram sering kali didatangkan dari Bandung. Namun, usaha Triono tidak langsung sukses. “Saya mulai produksi 5 kilo per hari. Bayangkan, bila panen 10 kilo per hari. Mau jualnya, susah sekali. Para pengecer di pasar banyak yang menolak jamur produksi kita. Menurut mereka, sudah punya pasar sendiri.. Saya tidak putus asa. Saya terus mencoba menjual jamur karena saya yakin jamur yang saya kembangkan bisa menang di kualitas dan kemasan,” kata bungsu dari tiga bersaudara ini.
Mengatasi persoalan pembeli, Triono membuat strategi baru. Ia menjual jamur lebih murah dari jamur lain. Penampilan jamurnya pun diusahakan lebih menarik. Dalam waktu sekejap, jamurnya menjadi terkenal. Pesanan meningkat, bahkan ada yang memesan sebanyak 50 kg sehari. Tidak heran bila tahun 2001 ia sudah berani menggaji karyawan dan pada 2003 didirikanlah CV AAC.
Makin lama, usaha jamur CV AAC makin berkembang. Akibatnya, Triono membutuhkan lahan yang lebih luas lagi. Lantas, apa yang dilakukannya? “Saya mulai dari sewa lahan kecil-kecilan. Kita sewa satu gubuk yang ada kebunnya. Akhirnya berkembang. Pernah kita pindah lahan, tapi kekurangan air. Akhirnya mandeg, lalu kita pindah lagi. Kita mulai dari lahan 1.000 meter persegi. Sambil jalan, kita produksi terus jamurnya sampai saya bisa membeli lahan 0,6 hektar, hingga kini bisa memperluas 3 hektar. Lahan yang terakhir ini merupakan daerah bekas rawa, tapi saya punya ide dalam membuat lantai cakar ayam,” kata lulusan Program Studi Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian ini.
Kini, pemasaran jamur tiram dan merang CV AAC meliputi daerah Cianjur, Sukabumi, Bogor, dan Jakarta. “Para distributor mengambil langsung ke tempat kita. Per hari, kita bisa memproduksi 1,5- 2 ton. Yang banyak diambil adalah jamur untuk sayur-sayuran, seperti tiram dan jamur merang. Jamur jenis ini memang sedang laku di pasaran. Distributor sendiri ada yang memasukkannya ke supermarket,” jelasnya.
Setelah sukses sebagai pengusaha jamur, Triono tidak pernah berpikiran ingin menjual langsung jamurnya ke pembeli atau menjual ke supermarket. Ia ingin dapat berbagi rezeki dengan orang-orang yang terlibat dalam bisnis jamurnya. “Saya tidak menjual langsung jamur ini. Saya pinginnya perputaran uang cepat. Saya berprinsip, jangan berpikir seperti seorang penjahit. Penjahit gayanya tinggi, satu baju harganya tinggi, tapi hanya sedikit sekali pesanannya. Maka kita berpikir seperti konveksi, untungnya sedikit, tapi omsetnya banyak dan bisa memperkerjakan orang lain sehingga rantai perdagangannya jalan terus. Kita ingin memberi kehidupan kepada yang lain, maka jamur ini kita jual ke distributor. Dari distributor dijual lagi ke agen pasar lalu ke pengecer. Di Jakarta, harganya bisa sampai Rp20.000,00 per kilogram,” kata bapak dua anak ini.
Triono mempunyai harapan besar untuk usaha jamur. Menurutnya, akhir-akhir ini industri barang-barang dan obat-obatan semuanya berasal dari Cina. Jamur pun dari Cina asalnya. Ia ingin industri jamur berkembang di Indonesia. Negeri ini punya potensi. “Mengapa potensi ini tidak kita kembangkan?” ujar Triono. (Gusti Grehenson)