YOGYAKARTA- Indonesia pada saat ini masih menghadapi masalah generasi penerus yang cukup serius. Perbaikan program untuk memberikan pelayanan yang lebih baik agar mencapai masyarakat sehat, terutama pada penduduk miskin perlu segera dilakukan. Perencanaan ke depan untuk mengatasi masalah gizi kronis perlu menjadi prioritas utama dengan cara mengatasi faktor penyebab dan mengecilkan disparitas provinsi berdasarkan karakteristik penduduk. “Penyelesaian persoalan gizi kronis perlu menjadi prioritas di Indonesia dengan melihat masih besarnya problem gizi tersebut,†ujar Atmarita, M.P.H., Dr.PH (Balitbangkes Depkes) dalam Seminar Nasional Optimalisasi Potensi Anak Stunted di Indonesia, Sabtu (2/10), di Auditorium Fakultas Kedokteran (FK) UGM.
Atmarita menambahkan perilaku masyarakat tentang pentingnya kesehatan anak masih perlu ditingkatkan. Promosi besar-besaran menjadi sangat penting, terutama mengurangi kebiasaan merokok dan pernikahan dini, membawa masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. “Untuk itu, di sini komitmen penguatan dari berbagai pihak yang terlibat bagi peningkatan sumber daya manusia juga perlu diikuti perbaikan manajemen program dan pemberdayaan masyarakat yang baik,†imbuhnya.
Diakuinya, masalah gizi memang masih sangat serius dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2007 dan 2010 menunjukkan prevalensi pendek pada anak balita masih berkisar antara 36-40 persen. Pencapaian rata-rata tinggi badan pada anak laki-laki adalah 162,9 cm pada usia 19 tahun, lebih pendek 13,6 cm dibandingkan dengan rujukan. Sementara pada anak perempuan, tinggi badan rata-rata yang bisa dicapai pada usia 19 tahun adalah 152,8 cm atau lebih pendek 10,4 cm daripada rujukan. “Faktornya memang banyak, bisa karena intake konsumsi makanan yang kurang dari kecukupan sehari-hari dan kemungkinan berlangsung dalam waktu lama, pelayanan kesehatan yang belum merata, dan perilaku yang tidak baik, seperti merokok,†kata Atmarita.
Sementara itu di tempat yang sama, pengajar pada Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Toto Sudargo, S.K.M., M.Kes., menjelaskan salah satu masalah gizi yang ditemukan di Indonesia ialah stunted. Stunted berhubungan dengan ketersediaan bahan pangan di tingkat rumah tangga yang rendah, infeksi, dan pola asuh. Salah satu yang menyebabkan ketidaktersediaan bahan pangan di tingkat rumah tangga adalah faktor kemiskinan. “Seandainya jumlah anak balita dan anak usia sekolah dasar di Indonesia adalah 25 juta, maka ditemukan sekitar 6 juta anak stunted,†kata Toto.
Jika dari 6 juta anak stunted tersebut 20%-nya disebabkan oleh faktor keturunan (heriditas), masih ada 4,8 juta anak yang menderita stunted karena masalah yang terkait dengan gizi dan infeksi, perilaku, kemiskinan, pendidikan, pengetahuan gizi, kepedulian sosial, dll.
Anak yang stunted, pada usia 8-10 tahun lebih terkekang/tertekan (lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye-contact) dibandingkan dengan anak non-stunted jika ditempatkan dalam situasi penuh tekanan. Anak dengan kekurangan protein dan energi kronis (stunting) menampilkan performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik dalam koordinasi dan kecepatan gerak.
Untuk mencegah terjadinya stunted dan pengaruhnya terhadap fungsi kognitif, diperlukan intervensi zat gizi makro (karbohidrat, lemak dan protein) dan zat gizi mikro (zat besi, folat, vitamin C, yodium, vitamin A) secara komprehensif yang diberikan kepada anak usia sekolah melalui program school lunch feeding. “Intervensi zat gizi makro dan mikro secara komprehensif diberikan kepada anak usia sekolah lewat school lunch feeding bisa menjadi salah satu solusi alternatif pula,†ujar Toto (Humas UGM/Satria)