YOGYAKARTA (KU) – Kebutuhan tenaga perawat di luar negeri, seperti Amerika, Kanada, Eropa, Korea, Jepang, dan Timur Tengah, kian meningkat, diperkirakan mencapai 1 juta perawat pada tahun 2020. Jepang, misalnya, saat ini membutuhkan lebih banyak perawat karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan perawat di dalam negerinya.
Saat ini, terdapat 1,3 juta orang yang bekerja sebagai perawat di Jepang, terdiri atas 822.000 perawat, 46.000 perawat komunitas, dan 27.000 perawat bidan. Sementara itu, jumlah total asisten perawat adalah 411 ribu orang. Pemerintah Indonesia telah mengirimkan 208 perawat pada tahun 2008. Kemudian, 362 perawat pada tahun 2009 dan tahun 2010 sebanyak 149 perawat. “Jepang masih membutuhkan 15.900 perawat pada tahun 2010,” kata staf pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Elsi Dwi Hapsari, S.Kp., M.S., D.S., dalam Seminar Internasional Ilmu Keperawatan ‘Indonesian Nurses to Study and Work in 3 Countries: Preparation and Challenges’, di Gedung Ismangoen, Senin (4/10)
Meski tenaga perawat dari Indonesia semakin diminati, masih ada kendala yang dihadapi, yakni lemahnya penguasaan bahasa asing, lingkungan kerja yang berbeda, dan belum terpenuhinya standar kompetensi perawat kualifikasi internasional. Selain itu, perawat di Indonesia saat ini terkendala tidak bisa meningkatkan kompetensi ilmunya karena masih minimnya pendidikan master dan doktor di dalam negeri. “Sampai sekarang, jumlah program pendidikan master dan doktor di bidang keperawatan di Indonesia masih terbatas, salah satu faktor masih sedikitnya jumlah dosen yang mempunyai tingkat pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Rebbeca Matti dari USAID. Ia mengemukakan Amerika Serikat tengah membutuhkan tenaga perawat dari berbagai negara yang memiliki kualifikasi internasional. “Bekerja sebagai perawat di Amerika dibutuhkan secara internasional untuk beberapa alasan, antara lain, karena tingkat kemandirian yang tinggi dan penghargaan yang diberikan pada perawat serta gaji yang menggiurkan. Tetapi apakah hal itu merupakan tujuan yang benar-benar dicapai oleh perawat Indonesia?” ujarnya.
Menurutnya, iklim yang berubah-ubah di Amerika seharusnya menjadi fokus perawat dari Indonesia untuk mengenal lebih jauh sistem kerja yang berlaku di sana. Ia menuturkan pendidikan sekolah perawat di Amerika dapat digunakan sebagai acuan untuk memperdalam pengetahuan tentang keperawatan pada level internasional. “Meskipun masuk ke Amerika sebagai pelajar dan mahasiswa lebih mudah mendapatkan akses ketimbang mencari kerja,” tambahnya.
Sementara itu, Prof. Faustino Jerome Babate dari Filipina menyampaikan sedikitnya 48 sekolah perawat di negaranya telah membuka program master dan 6 sekolah sudah membuka program doktor bidang keperawatan. Menurutnya, kesempatan bagi perawat Indonesia untuk melanjutkan studi di Filipina cukup terbuka lebar. “Biaya pendidikan yang murah, mudah beradaptasi terhadap budaya, dan mudah berasimilasi dengan masyarakat sekitar karena masih dalam satu kultur melayu,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)