YOGYAKARTA-Pembatalan kunjungan kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Belanda kemarin disayangkan banyak kalangan. Pengamat hubungan internasional (HI) UGM, Drs. Riza Noer Arfani, M.A., mengatakan seharusnya Presiden SBY tidak terlalu terburu-buru membatalkan kunjungannya meskipun ada desakan dari organisasi yang menamakan dirinya Republik Maluku Selatan (RMS) yang menuntut penangkapan Presiden SBY di pengadilan di Den Haag, Belanda, terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Indonesia. “Seharusnya tidak terlalu terburu-buru membatalkan kunjungan kenegaraan, apalagi lebih dengan pertimbangan “pribadi†Presiden,†ujar Riza, Rabu (6/10).
Riza mengatakan keputusan Presiden SBY dinilainya terburu-buru dan lebih mengedepankan pemikiran pribadi, bukan “tim†penasehat. Akan lebih baik bagi harga diri bangsa Indonesia jika kemarin Presiden tetap melanjutkan lawatannya karena undangan dan agenda Ratu Beatrix sudah lama dijadwalkan. Di samping itu, agenda di sana cukup penting sehubungan dengan pengakuan tertulis Pemerintah Belanda atas kemerdekaan Indonesia. “Informasi dari Menteri Luar Negeri, agenda di sana penting seputar pengakuan tertulis kemerdekaan Indonesia. Selain itu, juga sudah lama dijadwalkan pula. Akan sangat berharga jika dengan gagah berani Presiden SBY tetap datang ke Belanda meski bersamaan dengan jalannya sidang,†imbuh Riza.
Dalam pandangan Riza, dengan pembatalan kunjungan Presiden SBY ke Belanda justru akan menaikkan posisi tawar pihak RMS dalam mencari dukungan internasional. Di sisi lain, “kerumitan” hubungan Indonesia-Belanda akan muncul. Hal itu dapat dinetralisir jika secepatnya pemerintah memberikan penjelasan alasan pembatalan kunjungan Presiden dan kemudian mengagendakan kunjungan berikutnya. “Dampaknya akan memperumit hubungan dua pihak, kecuali pemerintah bisa segera memberi penjelasan dengan gamblang dan mengagendakan rencana kunjungan selanjutnya,†kata lulusan S-2 dari International Relations Program, the Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Syracuse University, New York, AS, tersebut.
Selain menaikkan posisi tawar RMS, beberapa negara yang hampir sama dengan Belanda dalam berfokus pada penegakan HAM, seperti Swedia dan negara-negara Skandinavia (antara lain Norwegia), ditakutkan juga akan memberikan penilaian (cap) yang sama kepada Indonesia sebagai negara yang tidak loyal pada penegakan HAM. “Takutnya memang negara-negara yang fokus pada penegakan HAM, seperti Belanda dan negara Skandinavia, akan memberi penilaian Indonesia sebagai negara yang memang tidak loyal pada penegakan HAM. Terbukti Presiden Indonesia yang tidak secara ksatria tetap datang ke Belanda,†pungkas Riza.
Seperti telah diberitakan, Presiden SBY batal berkunjung ke Belanda. Batalnya SBY karena tuntutan organisasi yang menamakan dirinya Republik Maluku Selatan (RMS) meminta penangkapan Presiden SBY di pengadilan di Den Haag, Belanda. Hal itu disampaikan SBY di Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Selasa (5/10), sesaat sebelum berangkat ke Belanda. Pemerintah RMS dalam pengasingan meminta agar Presiden SBY ditangkap saat kunjungan kenegaraan ke Negeri Belanda pekan depan. Tuntutan penangkapan itu disampaikan melalui kort geding (prosedur dipercepat) ke pengadilan. Demikian disampaikan Presiden RMS, John Wattilete, yang juga seorang advokat dalam pernyataan di teletext televisi publik NOS.
Wattilete juga meminta Perdana Menteri (demisioner) JP Balkenende mengimbau Presiden SBY agar mengakhiri apa yang disebutnya sebagai pemenjaraan dan penyiksaan para pengikut RMS. Disebutkan bahwa saat ini di Maluku terdapat 90 pengikut RMS yang dipenjarakan. Wattilete juga menginginkan agar Presiden RI menjelaskan lokasi mantan Presiden RMS, Soumokil, dimakamkan. (Humas UGM/Satria)