YOGYAKARTA-Indonesia saat ini tengah mengalami dinamika atmosfer yang sangat cepat. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, cuaca di Indonesia juga sedang mengalami anomali. Salah satu penyebab terjadinya anomali cuaca adalah munculnya La Nina ketika suhu muka laut di barat wilayah khatulistiwa Pasifik mendingin.
Dampaknya, hujan deras pada musim kemarau seperti sekarang ini masih saja terjadi. Banjir bandang yang melanda Wasior, ibu kota Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, sejak 3 Oktober lalu dan menewaskan lebih dari 83 orang menjadi bukti dampak terjadinya anomali cuaca yang ekstrim ini. “Memang tidak semua wilayah di Indonesia terkena dampak, tapi bukti nyata dari munculnya La Nina dan anomali cuaca tersebut, banjir bandang yang melanda wilayah Wasior, Papua Barat,” ujar peneliti kebencanaan UGM, Prof. Dr. H.A. Sudibyakto, M.S., Kamis (7/10).
Ditambahkannya bahwa bukti terjadinya anomali cuaca ekstrim adalah curah hujan yang intensitasnya masih tinggi dan di atas rata-rata normal. Sayangnya, ketika intensitas curah hujan tinggi, kemampuan wilayah untuk menangkap air tidak seimbang. “Sudah sangat jelas, selain di Wasior, ada banjir di mana-mana, Jakarta, bahkan Medan,” kata salah satu pengarah di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB ) ini.
Sudibyakto melihat di samping kemampuan wilayah yang tidak seimbang menangkap air hujan, banyak wilayah di Indonesia yang juga tinggi kerentanannya, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS). Tingkat kerentanan ini juga masih diperparah oleh beberapa kerentanan lainnya, yaitu kerentanan fisik, sosial eonomi, dan budaya.
Kerentanan fisik, antara lain, karena masih terjadinya penebangan hutan secara liar. Kerentanan sosial dapat terlihat pula dari masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat akan bencana. Sementara itu, kerentanan budaya disebabkan oleh, antara lain, kearifan lokal di tengah masyarakat yang sudah mulai ditinggalkan. “Ketika sebuah bahaya dan kerentanan bertemu, maka akan menimbulkan risiko lingkungan yang sangat tinggi pula,” terang Sudibyakto.
Menurut pengamatan Sudibyakto, adanya degradasi lingkungan menimbulkan berbagai macam bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan yang terus digulirkan pemerintah semakin terancam. Untuk mengantisipasi dan menanggulangi terjadinya bencana, setiap unit atau instansi pemerintah sebenarnya telah memiliki semacam Indeks Resiko Bencana (IRB), misalnya Kementerian ESDM, PU, Kehutanan, dan BNPB.
Akan tetapi, komunikasi dan koordinasi antarinstansi kepada masyarakat sering tidak optimal dan terjalin dengan baik. “Bencana itu masih akan terbuka untuk terus terjadi, baik di musim penghujan maupun kemarau sekalipun, maka koordinasi antarinstansi perlu dijalin erat. Masyarakat pun perlu mulai mempercayai dan memperhitungkan prakiraan cuaca atau bencana yang dikeluarkan pemerintah,” imbuhnya. Di samping itu, strategi adaptasi yang kuat juga harus dimiliki, apalagi diperkirakan curah hujan saat ini masih akan tinggi hingga Februari 2011 mendatang. “Harus tetap waspada. Jangan menunggu sikap dari Jakarta,” harapnya.
Khusus di BNPB, menurut Sudibyakto, tidak lama lagi juga akan segera dibuat SOP (standard operating procedure) 5 jenis bencana, yakni gempa bumi, tsunami, banjir, tanah lonsor, dan letusan gunung berapi. (Humas UGM/Satria)