Draft RUU Cagar Budaya yang digagas komisi X DPR RI masih membutuhkan penyempurnaan. Beberapa materi dalam RUU tersebut dipandang masih menyimpan banyak kelemahan.
Arkeolog UGM Dr Daud Aris Tanudirjo melihat setidaknya terdapat 3 bagian yang perlu disempurnakan. Selain kerangka konseptual, maka yang perlu dibahas secara bersama adalah usulan pasal per pasal dan rekomendasi umum.
Daud mengakui terdapat perbedaan paradigma dalam memandang cagar budaya. Pasal-pasal dalam draft RUU Cagar Budaya hanya memperlihatkan sebagian materi yang bisa disebut Cagar Budaya. Oleh karena itu jika draft ini lantas diberi nama Cagar Budaya, tentu akan menimbulkan ketimpangan-ketimpangan. “Karena kita tahu Cagar Budaya meliputi materi tangible dan intangible. Keduanya tidak dapat dipisahkan begitu saja, sehingga menjadi ideal bila yang tangible dan intangible tertampung disini,” paparnya di ruang Multimedia UGM, Sabtu (9/10).
Dalam agenda Uji Publik Draft RUU Cagar Budaya, Daud menilai contain/ substansinya draft ini sepertinya hanya mencakup tentang pelestarian Cagar Budaya yang tangible, atau dalam istilah lain disebut ragawi, berwujud, bendawi atau peraga. Sehingga substansi draft RUU Cagar Budaya tidak mengakomodir yang intangible. “Yang intangible tidak banyak disebut, sehingga menjadikan pertanyaan Cagar Budaya ini pengertiannya seperti apa? Oleh karenanya perlu untuk mempersempit dari sisi judulnya terlebih dulu,” ucapnya.
Terkait konsep-konsep pelestarian, Daud menandaskan bahwa pelestarian tidak sekedar melestarikan benda namun justru ingin memperoleh manfaat, seperti nilai-nilai. Misalnya Borobudur dan Prambanan dan lain-lain yang menunjukkan adanya corak multi kebersamaan atau interreligion di dalamnya. Bahwa yang terpenting bukan bangunan candinya, namun nilai-nilai yang bisa diungkapkan agar menjadi bermanfaat. “Tetapi dalam kenyataannya pasal-pasal dalam RUU ini kurang menonjolkan atau menekankan siapa yang mestinya bertugas dan diwajibkan untuk menyampaikan nilai-nilai semcam ini pada masyarakat. UU ini mestinya afermatif, bahwa nilai-nilai penting yang mestinya diungkapkan. Karenanya kita akan memberikan usulan, salah satu contoh bagaimana memberdayakan peran museum. Bagaimana museum berperan untuk mengkomunikasikan nilai-nilai yang penting itu,” tuturnya.
Terkait azas, Daud tidak melihat Pancasila tercantum dalam draft RUU ini. Oleh karena itu sebagai kebutuhan hal tersebut perlu dicantumkan dalam draft RUU Cagar Budaya. “Sebagai pandangan hidup dan arah, Pancasila justru tidak menjadi bagian dari RUU ini, sementara bila melihat sejarah Pancasila merupakan karya budaya yang sangat luar biasa,” jelasnya.
Dihadapan rombongan DPR yang dipimpin Haeri Achmadi, Daud mengatakan draft RUU ini terkesan meloncat-loncat. Terlalu sulit untuk mengkaitkan satu dengan yang lain, karena ada beberapa bagian dibiarkan mengambang.
Sementara itu, Tb. Dedy Suwandi Gumelar yang akrab dipanggil Miing Bagito mengakui jika para anggota Komisi X DPR bukanlah segala-galanya. Sebagai penggagas draft RUU, para anggota DPR tetap membutuhkan masukan guna penyempurnaan. “Uji publik sudah kita mulai dari Makassar, Denpasar, NAD dan Yogyakarta. Bahkan di kota budaya dan gudangnya peninggalan sejarah sudah dua kali dilaksnakan uji coba publik untuk draft RUU ini,” katanya.
Dengan masukan-masukan yang berasal dari stakeholder kebudayaan, seperti para akademisi UGM, para pakar dan masyarakat akan mempertinggi martabat bangsa melalui UU ini nantinya. Karena menurutnya ukuran bangsa yang beradab bisa dinilai dari apa yang ditinggalkan dari peradaban kebudayaan bangsa itu. “Sejauh mana kita bisa melestarikan dan mampu mengembangkan, lantas sejauh mana masyarakat konsen memahami tentang peninggalan-peninggalan kebudayaan ini,” harapnya.
Bersama 13 anggota Tim Perumus yang lain, ia memperoleh banyak masukan guna penyempurnaan draft RUU ini. Mulai dari judul, ruang lingkup hingga pengertian benda cagar budaya. “Tadi ada masukan dari publik yang intangible ikut dimasukkan. Padahal yang intangible sesungguhnya kan menunjuk sistem, beahaviour sistem, kepercayaan sistem. Jadi lebih pada kebudayaan, sedangkan draft RUU ini lebih pada benda cagar budaya. “An sich memang pada bendawi, sehingga yang intangible kita rencanakan pada UU Kebudayaan yang lebih luas. Ini spesifik yang bendawi. Kalau terkait azas kita memang mengakui belum memasukkan kata Pancasila. Jadi menjaring aspirasi ini, kita menampung yang baik-baik, bukan media untuk perdebatan tapi lebih sebagai media usulan,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)