SLEMAN (KU) – Sebuah botol infus lengkap dengan selangnya dibawa Purwanta (67) dari dalam bilik rumahnya. Lalu, tabung infus itu ia gantung ke sebuah pengait, tak ubahnya dengan infus yang sering ditemui di kamar-kamar pasien rumah sakit. Perbedaannya, selang infus yang satu ini tidak disuntikkan ke lengan pasien, tapi ke sebuah kompor gas. Cukup dengan mengatur aliran tetesan cairan di selang, tidak berapa lama, klek! Begitu pemantik dinyalakan, kompor menyala. Pria paruh bayah ini tampak sumringah. Kemudian, istrinya buru-buru membawa ceret air dan ditaruh di atas kompor untuk dipanaskan.
Tabung dalam infus tadi bukanlah cairan elektrolit, melainkan bioetanol yang merupakan hasil dari limbah salak pondoh. Limbah yang dimaksud adalah buah salak yang kebanyakan cacat saat dipanen atau sudah membusuk. Selama ini, buah salak yang tidak layak jual ini kerap dibuang oleh para petani salak atau dibiarkan membusuk di pekarangan kebun salaknya. Namun, setelah kedatangan mahasiswa UGM, kebiasaan petani salak Dusun Ledoknongko, Turi, Sleman, yang membuang salak berangsur berubah. Oleh mahasiswa, limbah salak tersebut diolah menjadi bioetanol dengan menggunakan alat destilator. “Untuk limbah salak di dusun ini saja, tiap bulannya ada 1-3 ton salak yang tidak layak jual. Kita buat limbah tersebut menjadi bioetanol. Sisa hasil destilasi berupa ampas bisa dibuat pupuk organik untuk pertanian,” kata Adhita Sri Prabakusuma, salah satu anggota tim peneliti, saat ditemui di Dusun Ledoknongko, Turi, Sleman, Minggu (10/10).
Mahasiswa Jurusan Budidaya Pertanian ini menjelaskan dari 10 kilo salak dihasilkan sedikitnya 1 liter bioetanol. Sebelumnya, limbah salak tersebut difermentasikan dulu selama satu minggu dengan menambah ragi dan urea. “Cairan fermentasi ini dipanaskan dengan suhu 70 derajat pada tabung destilasi. Hasil pemanasan ini nantinya menghasilkan bioetanol,” kata Praba yang baru-baru ini telah diundang mempresentasikan hasil penelitiannya dalam International Agriculture Symposium di Malaysia. Cairan bioetanol kemudian dimasukkan dalam botol plastik dengan selang pipa dan ditutup rapat. Selanjutnya, cairan dialirkan ke kompor gas dengan cara disuntik.
Selain itu, Praba juga tengah mengenalkan ke petani bahwa bioetanol tidak hanya untuk bahan bakar kompor, tapi juga dapat dipasarkan ke apotek atau laboratorium. “Saat ini, harga jualnya bisa mencapai Rp20.000,00-Rp30.000,00 per liter,” kata peraih penghargaan mahasiswa teladan se-Fakultas Pertanian UGM tahun 2010 ini.
Pria kelahiran Sragen, 13 Februari 1988, ini menyampaikan salak pondoh di Sleman sudah diekspor ke China, daerah luar Jawa dan sekitar DIY. Akan tetapi, salak busuk sangat mengganggu upaya ekspor. Sesuai ketentuan, limbah tidak boleh dibuang ke kebun. Riset mahasiswa ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengatasi limbah salak, mendukung program pertanian terpadu, serta menerapkan energi ramah lingkungan. “Di Desa Turi ini bisa diinisiasi sebagai desa mandiri energi, pengembangan pertanian berkelanjutan dan terpadu,” ujarnya.
Untuk saat ini, produksi bioetanol memang mencapai 20-30 liter per bulan karena baru dikelola oleh kelompok tani salak pondoh “Si Cantik”, Ledoknongko, Bangunkerto, Turi, Sleman. Purwanta Ismaya (67) selaku ketua kelompok mengaku cukup sulit menyosialisasikan teknologi baru di kalangan para petani salak meski anggota kelompok tani yang dibinanya sudah memiliki 48 orang. “Tidak mudah menyosialisasikan karena tingkat pendidikan mereka berbeda-beda. Apalagi ini barang baru, secara ekonomis memang belum memuaskan secara langsung,” kata Purwanta.
Saat ditanya jumlah salak yang tidak layak jual saat musim panen, ia mengatakan diperkirakan sekitar 5 persen dari seluruh hasil panen buah salak yang tidak layak jual busuk dibuang percuma. Kini, secara perlahan petani tidak lagi menganggapnya sebagai sampah, tetapi sesuatu yang dapat menghasilkan manfaat dan potensial untuk sumber penghasilan tambahan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)