YOGYAKARTA-Pemerintah diimbau untuk tidak mengesampingkan pengembangan energi alternatif guna mengantisipasi menipisnya jumlah dan pasokan energi, khususnya minyak bumi, di Indonesia. Ditakutkan jika pemerintah lambat dalam merespon menipisnya jumlah energi tersebut, pada waktunya nanti akan menghadapi banyak persoalan. “Jangan sampai menunggu jumlah minyak bumi kita habis baru mulai berpikir energi alternatif. Mulai saat ini, energi alternatif harus terus didorong,” tutur Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Prof. Jumina, di kantornya, Senin (11/10).
Jumina mengatakan pengembangan energi alternatif sangat terbuka di Indonesia, misalnya bioetanol dan biodiesel untuk pengganti bahan bakar premium dan solar. Bioetanol bisa diambilkan dari tetes tebu, singkong serta rumput gajah. Sedangkan biodiesel bisa dikembangkan dari tanaman jarak atau sawit yang melimpah di Indonesia.
Ia menuturkan kebutuhan nasional bioetanol sekarang ini masih belum mencukupi. Kebutuhan nsional bioetanol di Indonesia mencapai 1,4 juta kilo liter/tahun, sementara produksinya sekarang baru sekitar 240 juta liter/tahun. “Tetes tebu lewat proses fregmentasi bisa jadi bioetanol. Kalau untuk solar, sawit juga melimpah di negara kita,” katanya.
Khusus rumput gajah, juga cukup bagus untuk dikembangkan sebagai pengganti premium menjadi bioetanol. Rumput gajah bisa 2 kali panen dalam 1 tahunnya, Cara menanamnya lebih mudah dan dapat ditanam di hampir semua lahan di Indonesia.
Di samping itu, pengembangan sumber energi lainnya, seperti surya, angin, dan air, sangat memungkinkan dilakukan. Yang dibutuhkan tinggal kemauan baik dari pemerintah untuk melakukannya seperti yang telah dilakukan di beberapa negara, misal AS, Brazil, dan China. “Tinggal perlu good will saja dari pemerintah untuk melaksanakannya,” ujar Jumina.
Dalam konteks saat ini, pengembangan energi alternatif di Indonesia dapat dilakukan dengan memanfaatkan dana dari penarikan subsidi BBM bagi jenis kendaraan tertentu, seperti yang digagas pemerintah sebelumnya. Kendaraan atau mobil yang misalnya memiliki cc di bawah 2000 dapat diberlakukan hal itu. Namun, jika kendaraan baru yang diberikan subsidi, dikhawatirkan langkah tersebut sulit dilakukan dalam praktiknya dan ditakutkan akan salah sasaran. “Kalau yang diberikan subsidi justru yang baru dan mahal, takutnya mobil yang lama dan rata-rata dimiliki masyarakat menengah ke bawah itu salah sasaran,” katanya.
Selain itu, kepemilikan mobil pribadi juga perlu diatur melalui pengenaan pajak progresif. Masyarakat yang memiliki mobil lebih dari 1, misalnya, akan dikenakan pajak untuk kendaraannya lebih mahal lagi. Hal itu dapat dilakukan agar jumlah kepemilikan mobil bisa dibatasi, tidak seperti saat ini yang sudah sangat berlebihan. “Pajak progresif diberlakukan tentu kalau mau punya lebih dari 1 mobil nanti akan banyak berpikir ulang sehingga jumlah peredaran mobil bisa ditekan,” imbuh Jumina.
Prof. Jumina menjelaskan di samping pengembangan energi alternatif dengan dana penarikan subsidi BBM, langkah lain yang dapat ditempuh adalah penataan kembali pengelolaan energi, terutama eksplorasi yang melibatkan pihak asing. Sejauh ini, pembagian hasil eksplorasi minyak bumi lebih banyak menguntungkan pihak asing daripada Indonesia. “Soal pengelolaan energi dalam ekplorasi minyak bumi juga harus ditata lagi. Jangan ujung-ujungnya kita terus yang rugi,” kata Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM ini.
Jika pengelolaan eksplorasi energi ini bisa dilakukan dengan lebih baik, Indonesia dapat menghemat banyak energi dan tidak perlu mengimpor. Dengan demikian, produksi energi kian bertambah sehingga tidak akan memperberat beban pemerintah lagi. (Humas UGM/Satria).